Bolini Haroan

Minggu, 18 Agustus 2013

Asal Usul Suku PakpaDairi dan Pakpak Baratk di

Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

Arsip untuk kategori ‘Ery Soedewo,M.Hum.

JEJAK KEINDIAAN (HINDU-BUDDHA) DALAM KEBUDAYAAN PAKPAK

Ery Soedewo
Balai Arkeologi Medan

Absract
Pakpak as one of the ethnic group in North Sumatera, showed that its cultural heritage had been
influenced by Indian culture.
Indian culture added into Pakpak culture then enriched it. This addition didn’t change Pakpak’s identity.
Kata Kunci: Pakpak, Hindu-Buddha, perdagangan
I. Asal-usul dan persebaran orang Pakpak


Pakpak biasanya dimasukkan sebagai bagian dari etnis Batak, sebagaimana Karo, Mandailing, Simalungun, dan Toba. Orang Pakpak dapat dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan wilayah komunitas marga dan dialek bahasanya, yakni (Berutu dan Nurani, 2007:3–4):
  1. Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di daerah Simsim. Antara lain marga Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea, Boang Manalu, Cibro, Sitakar, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Pakpak Bharat.
  2. Pakpak Kepas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek Keppas. Antara lain marga Ujung, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang di Kabupaten Dairi.
  3. Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Pegagan. Antara lain marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik, Siketang, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir, dan Kecamatan Tiga Lingga di Kabupaten Dairi.
  4. Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen. Antara lain marga Tumangger, Siketang, Tinambunan, Anak Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Pakkat (di Kabupaten Humbang Hasundutan), serta Kecamatan Barus (di Kabupaten Tapanuli Tengah).
  5. Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Antara lain marga Sambo, Penarik, dan Saraan. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Singkil (Nanggroe Aceh Darussalam).
Meskipun oleh para antropolog orang-orang Pakpak dimasukkan sebagai salah satu subetnis Batak di samping Toba, Mandailing, Simalungun, dan Karo. Namun, orang-orang Pakpak mempunyai versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya. Berkaitan dengan hal tersebut sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin,1999/2000:16):
  1. Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Pakpak.
  1. Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan Purbaji.
  2. Dalam lapiken/laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
  3. Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
  4. Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Berdasarkan sumber tutur serta sejumlah nama marga Pakpak yang mengandung unsur keindiaan (Lingga, Maha, dan Maharaja), boleh jadi di masa lalu memang pernah terjadi kontak antara penduduk pribumi Pakpak dengan para pendatang dari India. Jejak kontak itu tentunya tidak hanya dibuktikan lewat dua hal tersebut, dibutuhkan data lain yang lebih kuat untuk mendukung dugaan tadi. Oleh karena itu maka pengamatan terhadap produk-produk budaya baik yang tangible maupun intangible diperlukan untuk memaparkan fakta adanya kontak tersebut. Selain itu waktu, tempat terjadinya kontak, dan bentuk kontak yang bagaimanakah yang mengakibatkan wujud budaya dan tradisi masyarakat Pakpak sebagaimana adanya saat ini. Untuk itu diperlukan teori-teori yang relevan untuk menjelaskan sejumlah fenomena budaya yang ada.
II. Jejak Hindu-Buddha dalam kepercayaan dan tradisi orang Pakpak
Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Pakpak, masyarakatnya meyakini bahwa alam raya ini diatur oleh Tritunggal Daya Adikodrati yang terdiri dari Batara
Guru, Tunggul Ni Kuta, dan Boraspati Ni Tanoh (Siahaan dkk.,1977/1978:62). Nama-nama itu antara lain terwujud lewat mantra ketika diadakan upacara menuntung tulan (pembakaran tulang-tulang leluhur). Sebelum api disulut oleh salah seorang Kula-kula/Puang dia mengucapkan kata-kata sebagai berikut (Berutu, 2007:32):
“O…pung…! Ko Batara Guru, Beraspati ni tanah, Tunggul ni kuta, … .”
Nama Boraspati dan Batara Guru jelas merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta yang disesuaikan dengan pelafalan setempat. Kata Boraspati merupakan adopsi dari kata Wrhaspati yang berarti nama/sebutan purohita (utama/pertama) bagi para dewa. Jadi kata ini merujuk pada penyebutan bagi dewa tertinggi atau yang dianggap utama/penting yang dalam konteks ini (boraspati ni tanoh) dapat diartikan sebagai dewa utama yang berkuasa di tanah/bumi.
Penyebutan Batara
Guru dalam mantra sebelum api dinyalakan dalam upacara menuntung tulan jelas merupakan adopsi dari kepercayaan Hindu yang berkenaan dengan salah satu perwujudan dari Dewa Siwa yakni sebagai Agastya (Batara Guru). Menurut Krom (1920:92 dalam Poerbatjaraka,1992:110) wujud Siwa yang paling populer di Nusantara adalah wujud yang yang memakai nama Bhatara Guru (Guru Dewata). Sosok utama dengan nama ini juga banyak ditemukan di tempat-tempat lain di Nusantara. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa tokoh ini adalah dewa asli Indonesia yang konsepnya kemudian tercampur seiring dengan masuknya agama Hindu melalui perwujudan Siwa sebagai Mahayogi. Pendapat Krom tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Kern (1917:21 dalam Poerbatjaraka 1992:110). Menurut Kern bukti nyata tentang popularitas agama Hindu Siwa adalah dengan tersebarnya nama Bhatara Guru sebagai dewa utama di Nusantara. Demikian halnya dengan Wilken (1912:244 dalam Poerbatjaraka 1992:110) yang menyatakan bahwa Soripada dan Batara Guru adalah dewa-dewa pribumi yang semula mempunyai nama pribumi asli yang kemudian berubah dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Kata adopsi lain yang juga tampil dalam mantra orang-orang Pakpak adalah dalam mantra menolak mimpi buruk (Siahaan dkk.,1977/1978:150):
Hung, pagari mo kita   
Da hompungku
Hompung ni pangir
Kata Hung dalam mantra penolak mimpi buruk pada tradisi Pakpak di atas adalah pelafalan lain dari kata Hum yang sering digunakan dalam mantra-mantra Hindu maupun Buddha. Dalam kitab suci Hindu yakni Weda, kata Hum adalah mantra bagi Agni, sang dewa api, sehingga mantra ini digunakan saat dilakukan upacara persembahan kepada api suci. Selain itu juga digunakan untuk memanggil atau membangkitkan api sehingga nyalanya lebih kuat. Hum juga merupakan representasi dari jiwa dalam diri mahluk, sekaligus wujud keberadaan Dewa di dunia. Melalui pelafalannya manusia berharap sifat-sifat kedewaan merasuk ke dirinya sekaligus memberikan kesadaran jiwa akan keberadaanNya. Di samping sebagai mantra yang ditujukan pada Agni sang dewa api, Hum juga merupakan mantra bagi Dewa Siwa serta Chandika (perwujudan lain dari Kali sang dewi maut). Pelafalannya bertujuan untuk menghancurkan hal-hal negatif sekaligus menciptakan kekuatan dan kemauan yang besar. Sedangkan dalam agama Buddha Hum merupakan salah satu kata dalam mantra bagi Boddhisatva Avalokitesvara yang teksnya sebagai berikut: Om Mani Padme Hum. Kata ini juga dipakai bagi dewa lainnya dalam Buddhisme yakni bagi Jambala Putih yang teksnya sebagai berikut: Om Padma Corda Arya Jambhala Setaya Hum Phet.
Mantra-mantra sebagai salah satu wujud budaya yang intangible dalam kebudayaan Pakpak biasanya dihadirkan saat upacara-upacara adat. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal dua bentuk kerja (horja dalam bahasa Batak Toba atau upacara/ritus dalam bahasa Indonesia) yakni, kerja baik dan kerja njahat. Kerja baik adalah segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa sukacita atau gembira seperti, keberhasilan panen, pernikahan, dan kelahiran anak. Sebaliknya Kerja Njahat adalah segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa dukacita atau sedih seperti kematian (Berutu,2007:8).
Hal-hal yang berhubungan dengan duka cita, kematian, mangokal tulan (membongkar tulang-belulang dari kuburan dan menempatkannya di kubur sekunder), dikategorikan sebagai kerja njahat. Upacara kematian dapat dibagi menjadi 4 yakni (Siahaan dkk.,1977/1978:92–94):
  1. Mati
    Bayi
Anak yang baru lahir yang belum bergigi jika meninggal dikebumikan dekat rumah tanpa diketahui oleh orang lain, karena takut diambil orang lain, dijadikan guna-gunaan.
  1. Mati
    Dewasa
Orang yang meninggal dalam usia muda (dewasa) dikuburkan dimana saja dan termasuk mate
ntalpok (mati belum berketurunan)
  1. Mati
    Ntua
    Seorang yang meninggal dan telah berkeluarga dikebumikan di kuburan umum.
  2. Mati
    Cayur
    Tua
Bagi orang yang meninggal tapi sudah mempunyai cucu, biasanya diadakan kerja
njahat, sewaktu mayatnya masih di rumah. Pembiayaan umumnya ditanggung oleh keluarga/ahli waris yang meninggal itu sendiri karena almarhum enggo
mencari (hasil pencarian/kerja mendiang selama hidupnya). Jadi biaya diambil dari harta yang ditinggalkan oleh mendiang.
Salah satu bagian penting dalam ritus mati cayur tua adalah Menuntung Tulan (upacara pembakaran tulang jenazah). Upacara ini disebut juga Penahangken (meringankan), sebab tujuan dilaksanakannya adalah untuk meringankan beban roh mendiang (Berutu, 2007:30).
Upacara ini dilaksanakan bila keluarga mendiang mendapat mimpi (nipi) yang seolah menggambarkan mendiang di alam kuburnya merasakan beban yang berat, sesak, atau sempit. Upacara ini harus dilaksanakan, bila tidak maka jiwa/roh mendiang akan mengakibatkan sakit kepala pada keturunannya (Berutu,2007:30).
Peralatan yang dibutuhkan dalam upacara ini antara lain kayu bakar, batang pohon pisang (sitabar) yang dibentuk menyerupai manusia serta diberi pakaian (persilihi), kain putih pembungkus tulang-tulang mendiang, sumpit/kembal wadah bagi tulang yang telah dibungkus, dan sejumlah hewan kurban. Setelah segala persiapan selesai, maka pihak kerabat (Kula-kula, Berru, dan Sinina) berangkat ke pekuburan. Biasanya dilakukan pada waktu pagi hari, agar roh/jiwa bangkit sebagaimana matahari terbit, juga agar sanak kerabatnya nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari (Berutu,2007:31).
Setelah api padam, secara hati-hati keluarga mengambil abu dan sisa-sisa tulang yang telah dibakar. Abu dan sisa-sia tulang itu kemudian dibungkus dengan kain putih lalu dibawa ke tempat pertulanen (lesung batu). Namun, ada kalanya abu dan sisa-sisa tulang tersebut dibawa dan digantung di rumah sukut (Berutu,2007:32).
Upacara sejenis juga dilakukan oleh masyarakat Karo setidaknya hingga awal abad ke-20 yang lalu. Jenis upacara ini hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Bali, yang disebut sebagai ngaben. Beberapa unsur yang mirip dengan upacara pembakaran jenazah di Bali (Ngaben) dengan upacara pembakaran tulang-tulang jenazah di Pakpak (Menuntung Tulan) selain proses pembakarannya sendiri adalah pembuatan boneka manusia dari batang pisang yang disebut sebagai persilihi. Di Bali boneka/patung yang melambangkan sosok mendiang yang diaben disebut sebagai pratima.
Selain dalam upacara adat, pengaruh Hindu-Buddha (India) juga hadir dalam sistem waktunya. Sebelum kedatangan pengaruh Islam dan Kristen sistem kala yang dikenal oleh masyarakat Pakpak adalah sebagai berikut. Berikut adalah nama-nama hari dalam 1 bulan (Siahaan dkk.,1977/1978:68):
  1. Antia    16. Suma Teppik
  2. Suma    17. Anggara Kolom
  3. Anggara    18. Budhaha Kolom
  4. Budhaha/Muda    19. Beraspati Kolom
  5. Beraspati    20. Cukerra Genep Duapuluh
  6. Cukerra    21. Belah Turun
  7. Belah
    Naik    22. Adintia Nangga
  8. Sumasibah    23. Sumanti Mante
  9. Anggara
    Sipuluh    24. Anggara Bulan Mate
  10. Budhaha
    Mangadep    25. Budha Selpu
  11. Antia
    Naik    26. Beraspatigok
  12. Beraspati Tangkep    27. Cukerra Duduk
  13. Cukerra Purnama    28. Samisara Mate Bulan
  14. Belah Purnama    29. Dalan Bulan
15. Tula     30. Kurung
Bandingkan penyebutan nama 7 hari pertama dalam 1 bulan pada tradisi Pakpak di atas dengan penyebutan nama hari dalam siklus 7 hari (saptawara) pada prasasti-prasasti Jawa Kuna yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
No
Indonesia 
Pakpak 
Jawa Kuna 
1 
Ahad/Minggu 
Antia
Aditya 
2 
Senin 
Suma
Soma 
3 
Selasa 
Anggara
Anggara 
4 
Rabu 
Budhaha/Muda
Buddha 
5 
Kamis 
Beraspati
Wrhaspati
6 
Jumat 
Cukerra
Çukra
7 
Sabtu 
Belah
Naik
Çanaiçcara
Sumber Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245
Berbeda dibandingkan nama-nama hari dalam tradisi Pakpak yang dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha, penyebutan nama-nama bulan mereka lebih bersifat pribumi:
Bulan 
Pakpak 
Jawa (tani)
Jawa Kuna  
Sanskerta 
Toba 
Karo 
1 
Pekesada
Kasa 
Cetra 
Caitra
Sitora 
Citera 
2 
Pekedua
Karwa 
Weçakha
Vaiçakha
Sisaha  
Sisaka 
3 
Peketellu
Katlu 
Jyestha 
Jestha
Sibista 
Sidista 
4 
Pekeempat
Kapat 
Asādha
Asādha
Sisanti 
Sitama 
5 
Pekelima
Kalima 
Srāwana
Srāvana
Sisorbaba 
Siresba 
6 
Pekeenam
Kanem 
Bhādra(-pada/wada)
Bhādra(-pada)
Sibadora 
Sibadera 
7 
Pekepitu
Kapitu 
Asuji/ Aswayuja 
Asvina/ Asvayuja
Sisudija 
Sisudi 
8 
Pekewaluh
Kawwalu 
Kārttika
Kārttika
Siaji mortiha/mertika
Sisakadi 
9 
Pekesiwah
Kasanga 
Margasirsa 
Mārgasirsa/ Agrahāyana
Sianggara Aji
Simerga 
10 
Pekesipuluh
Kasapuluh 
Posya 
Pausa
Sipusija 
Sipusija 
11 
Pekesibellas
Hapit (lemah) 
Magha 
Māgha
sipalaguna 
Siguwa 
12 
Pekeduabellas
Hapit (kayu) 
Phalguna
Phālguna
Siraja urip 
Sikurung lamadu 
Sumber Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245; Toba & Karo: Voorhoeve,1972:495
Sebagaimana tampak pada tabel di atas, nama-nama bulan dalam tradisi Pakpak jelas merupakan tradisi setempat yang didasarkan pada perhitungan kaum tani sebagaimana juga dikenal di Jawa hingga kini. Bedanya, di Jawa dahulu juga dikenal nama-nama bulan yang merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta, sebagaimana puak-puak lain di sekitar Pakpak seperti Toba dan Karo pernah mengenalnya.
Data lain yang juga dapat dijadikan fakta adanya pengaruh India (Hindu-Buddha) dalam kebudayaan Pakpak adalah pada wujud budaya yang tangible, antara lain dalam wujud patung.
Di beberapa daerah di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat hingga kini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional Pakpak. Salah satu bentuk rumah tradisional mereka dikenal sebagai rumah jojong. Rumah jojong berarti rumah yang memiliki menara, dibentuk dari 2 kata, yakni rumah dan jojong yang berarti menara. Jojong ditempatkan di tengah-tengah bubungan atap yang melengkung (denggal). Hanya raja dan keluarganya yang menempati rumah jenis ini (Siahaan dkk.,1977/1978:121). Salah satu hal menarik dari rumah jojong adalah keberadaan bentuk kepala manusia di bagian atas pintu masuk yang dalam istilah seni hias Toba disebut sebagai jenggar.
Jenggar yang terdapat di rumah jojong milik keluarga Raja Johan Berutu di Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitelu Tali Urang Julu ini berbentuk kepala manusia bermahkota dengan hiasan menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanannya. Pengamatan lebih lanjut terhadap jenggar pada rumah tradisional Pakpak ini menunjukkan adanya kemiripan dengan bagian kepala arca perunggu Wisnu berbahan perunggu dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India; serta bagian kepala arca perunggu Siwa Nataraja juga dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India. Bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Wisnu dari Tanjore adalah bentuk mahkotanya yang dalam ikonografi disebut sebagai kirita-mukuta; sedangkan bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Siwa Nataraja adalah bentuk yang menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanan jenggar yang mirip dengan bagian rambut arca Siwa Nataraja yang digambarkan terurai di sisi kiri dan kanan kepalanya. Kedua arca pembanding dari Tanjore tersebut diperkirakan dibuat pada abad ke-11 M, masa kekuasaan Dinasti Chola di India selatan.
Arca-arca berlanggam Chola ternyata ditemukan juga di daerah lain di Sumatera Utara, antara lain adalah arca batu Buddha yang ditemukan di situs Kota Cina, Medan; arca batu Wisnu dan Lakshmi juga dari situs Kota Cina, Medan; dan arca perunggu Lokanatha dari Gunung Tua, Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Berdasarkan contoh-contoh pembanding itu, tentunya bentuk jenggar dari rumah jojong di Pakpak Bharat itu mengambil prototipenya dari arca-arca berlanggam Chola di atas.
Wujud tri matra lain yang juga merupakan hasil adopsi dari India adalah patung angsa yang banyak ditemukan di kompleks-kompleks mejan di sejumlah kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat. Salah satu di antaranya adalah patung angsa yang terdapat di kompleks mejan Bancin di Desa Penanggalan Binanga Boang, tepatnya 55 m arah barat dari Sungai Ordi yang secara astronomis berada pada 02° 31′ 29,5” LU dan 098° 19′ 55” BT. Patung keempat berbentuk angsa, dengan panjang: 30 cm, lebar: 25 cm, tinggi: 53 cm. Patung ini digambarkan dalam posisi berdiri pada suatu batur, kedua sayap terkatup rapat pada badannya. Bagian leher hingga kepala telah hilang. Patung ini berfungsi sebagai tutup satu batu pertulanen (wadah abu/sisa-sisa jenazah) berbentuk silinder yang berada tepat di bawahnya.
Angsa bukanlah binatang endemik di Kepulauan Nusantara, populasinya yang asli tersebar di daerah subtropis bagian utara dan selatan. Spesies angsa yang ditemukan di bumi bagian utara mempunyai bulu menyeluruh berwarna putih, kontras dengan spesies angsa di bumi bagian selatan yang memiliki bulu berwarna hitam dan putih. Binatang ini secara zoologi termasuk dalam filum Chordata, kelas Aves, ordo Anseriformes, dan familia Anatidae yang terdiri dari 6 spesies yakni: Cygnus olor, daerah sebarannya di Eurasia; Cygnus atratus (angsa hitam), daerah sebarannya di Australia; Cygnus melancoryphus, daerah sebarannya di Amerika Selatan; Cygnus cygnus, daerah sebarannya di sub-artik Eropa dan Asia; Cygnus buccinator, daerah sebarannya di Amerika Utara; dan Cygnus columbianus, yang daerah sebarannya di Eropa dan Amerika Utara. Dari keenam spesies angsa tersebut dua di antaranya yakni Cygnus olor dan Cygnus cygnus hidup di benua Asia, namun tidak ada di Asia Tenggara daratan maupun kepulauan. Hal ini berarti angsa diperkenalkan atau dibawa ke Kepulauan Nusantara seiring terjadinya kontak budaya antara penduduk pribumi Nusantara dengan para pendatang dari daratan Asia seperti Cina atau India.
Dikenalnya angsa oleh orang-orang Pakpak di masa lalu sebagaimana terwujud dalam bentuk patung adalah hasil kontak mereka dengan para pendatang dari India yang beragama Hindu atau Buddha. Dalam ikonografi Hindu angsa adalah wahana (tunggangan) dari salah satu Trimurti yakni Brahma, Sang Pencipta alam semesta sedangkan dalam ikonografi Buddha angsa adalah tunggangan Saraswati, Sang Dewi ilmu pengetahuan. Keberadaan patung angsa sebagai tutup bagi wadah abu dan sisa-sisa tulang jenazah (batu pertulanen) dapat dikaitkan dengan konsep dalam Hindu bahwa Brahma adalah Sang Pencipta. Angsa sebagai wahana Brahma dapat dianggap sebagai simbol pelepasan mendiang -yang sisa-sisa jasadnya tersimpan di batu pertulanen- menuju Sang Pencipta.
III. Kebudayaan Pakpak sebagai buah dari perdagangan internasional
Masuknya unsur-unsur budaya Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh adanya kontak antarpendukung kedua budaya. Tempat yang paling memungkinkan terjadinya kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar internasional.
Para pedagang dari India mendatangi Barus untuk membeli getah bernilai tinggi yang dihasilkan di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak. Bukti kehadiran mereka –terutama dari India selatan/daerah Tamil- adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:24).
Dalam beberapa teks berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13 hingga ke-18 Masehi terdapat suatu tempat yang disebut Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal kamper bermutu terbaik (Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat lain yang juga banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/ Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah Perlak/Peureulak. Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat di Pulau Sumatera yang mengeluarkan mata dagangan kamper yakni Pant’chour dan P’anēs (Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di Tanjavur menyebutkan tentang “Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu tempat yang diserbu tentara Cola pada tahun 1025 M. Berdasarkan sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak antara pribumi Pakpak dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir barat Sumatera dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera.
Walaupun daerah Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan, namun lembah-lembah beserta aliran sungainya memegang peranan penting bagi terciptanya komunikasi antara daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan Singkel dan Barus dengan Pakpak landen (tanah Pakpak) dan Sibolga serta Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh jalur niaga yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai di daerah tersebut (Asnan,2007:40–41).
Sampai awal abad ke-19 penduduk dari subetnis Pakpak, Angkola, dan Mandailing dikenal sebagai pengumpul hasil hutan (terutama kamper dan kemenyan) yang mereka jual ke daerah pantai barat Sumatera. Selain pantai timur Sumatera daerah pesisir barat Sumatera merupakan daerah pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42).
Kontak yang terjadi antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang dari India di masa lalu mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi adalah salah satu proses perubahan budaya, yang ditandai oleh terjadinya interaksi intensif antara kelompok-kelompok individu dengan kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kelompok-kelompok yang terlibat. Oleh para pakar antropologi akulturasi dapat berupa (Haviland,1988:263):
  1. Substitusi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan yang telah ada sebelumnya diganti oleh unsur kebudayaan baru yang lebih fungsional, sehingga mengakibatkan hanya sedikit perubahan struktural dari kebudayaan bersangkutan.
  2. Sinkritisme, terjadi ketika sejumlah unsur budaya lama bercampur dengan unsur buaya baru sehingga terbentuk suatu sistem baru yang mengakibatkan perubahan kebudayaan yang cukup berarti.
  3. Adisi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan ditambahkan pada kebudayaan yang lama, yang dapat mengakibatkan perubahan struktural atau bahkan tidak terjadi perubahan pada budaya lama.
  4. Dekulturasi, terjadi ketika bagian substansial dari suatu kebudayaan menjadi hilang.
  5. Orijinasi, terjadi ketika sejumlah unsur baru tumbuh dari suatu kebudayaan disebabkan oleh perubahan situasi.
  6. Penolakan, terjadi ketika suatu perubahan berlangsung terlalu cepat sehingga sejumlah besar anggota dari suatu budaya tidak mau menerimanya, yang dapat menyebabkan pemberontakan, penolakan sama sekali, atau gerakan kebangkitan.
Sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur. Percampuran atau asimilasi terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan. Inkorporasi terjadi bila suatu kebudayaan kehilangan otonominya, namun tetap mempunyai identitas subkultur, seperti kasta, kelas, atau kelompok etnis (Haviland,1988:263).
Dalam hal kebudayaan Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi merupakan proses budaya yang terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan orang-orang India dengan kebudayaannya yang khas, orang-orang Pakpak telah mewarisi kebudayaan tersendiri yang berbeda dari para pendatang dari barat tersebut. Datangnya budaya baru pada masyarakat Pakpak memperkaya khasanah budaya yang telah lama mereka miliki. Pada ranah sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan kepercayaan Hindu-Buddha masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh leluhur. Masuknya agama Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem ikonografinya telah menambah ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang telah ada sebelumnya.
Bentuk-bentuk seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanen sebenarnya tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan dengan bentuk mejan yang telah ada sebelumnya, sebagai suatu simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan awal/asli pribumi Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini masih dapat dilihat di daerah Toba seperti bentuk kepala burung enggang/rangkong, kuda, dan perahu yang dianggap sebagai simbol asli bagi kendaraan arwah.
Sedangkan pengadopsian nama-nama dewa dalam kepercayaan Hindu seperti Batara Guru (Siwa Mahaguru) maupun Boraspati (Wrhaspati) tidak lebih dari penamaan bagi roh-roh leluhur yang telah dinaikkan derajatnya menjadi dewa seiring merasuknya pengaruh Hindu dalam kehidupan orang-orang Pakpak dulu. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di Jawa pada masa pulau ini masih dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu-Buddha.
Pada masa-masa akhir kejayaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa, terdapat bukti bahwa kepercayaan lama yakni pemujaan terhadap nenek moyang makin menguat. Pembuatan candi-candi dan arca-arcanya tidak lain sebenarnya adalah bentuk penghormatan kepada arwah raja yang telah menyatu dengan dewa yang menjadi pujaannya semasa hidup. Jadi tidak lain dan tidak bukan hal itu adalah bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang belum sepenuhnya hilang dalam kepercayaan Jawa, seperti halnya juga pada orang-orang Pakpak dahulu.
IV. Penutup
Kemiripan hasil-hasil budaya Pakpak seperti kepercayaan lewat nama-nama dewa, penanganan jenazah (pembakaran sisa jenazah); bentuk-bentuk trimatra pada patung angsa dan jenggar; maupun penyebutan nama-nama satuan kala/waktu, merupakan buah dari kontak dagang Pakpak dengan India. Tempat-tempat yang diduga merupakan titik kontak antara masyarakat Pakpak pada masa lalu dengan para pendatang dari India (khususnya Tamil/India bagian selatan) antara lain adalah Barus, Padang Lawas, dan Kota Cina. Khususnya Barus merupakan bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India terhadap budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M atau awal abad ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya kebudayaan Pakpak sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini.
Kepustakaan
Asnan, Gusti, 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak.
Atmodjo, M.M., Sukarto, 1985. Short Notes on The Old Malay Inscriptions in Central Java dalam Final Report SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts: Consultative Workshop on Archaeological and Environtmental Studies on Srivijaya. Hal: 81–95.
Berutu, Lister dan Nurbani Padang, 2007. Tradisi dan Perubahan. Medan: Grasindo Monoratama.
Berutu, Tandak, 2007. Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak Dairi dalam Berutu, Lister dan Nurbani Padang (ed.) Tradisi dan Perubahan. Medan: Grasindo Monoratama, hal: 7–35.
Couperus, P. Th., 1855. De Residentie Tapanoeli (Sumatra’s Westkust) in 1852 dalam TBG (V).
Haviland, William A., 1988. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Hoed, Benny H., 2004. Bahasa dan sastra Dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik dalam Christomy & Untung (ed.) Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorak Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Kévonian, Kéram, 2002. Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina Dalam Bahasa Armenia dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Claude Guillot, ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Poerbatjaraka, 1992. Agastya di Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricoeur, Paul, 1982. Hermeneutics and The Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.
Sastri, K.A. Nilakanta, 1932. A Tamil Merchant-guild in Sumatra dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. Batavia: Kononklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Siahaan, E. K., dkk., 1977/1978. Survei Monograpi Kebudayaan Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Medan: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Sumatera Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sinuhaji, Tolen dan Hasanuddin, 1999/2000. Batu Pertulanen di Kabupaten Pakpak Dairi. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.
Subbarayalu, Y., 2002. Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus Suatu Peninjauan Kembali dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus,
Claude Guillot (ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Voorhoeve, P., 1972. Sanskrit Maandnamen in het Bataks dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128, no. 4. Leiden: KITLV, Hal: 494–496.
Zoetmulder, P.J., 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Ditulis oleh balarmedan
Juni 18, 2008 pada 3:36 am
Ditulis dalam Ery Soedewo,M.Hum.

ARCA PERUNGGU GARUDA DAN BODDHISATVA PADMAPANI DARI PADANGLAWAS

Ery Soedewo
Balai Arkeologi Medan
Abstract
Padang Lawas is one of some sites from Hindoo-Buddhist period in North Sumatra. Based on artefactual data, many archaeologists agreed that religion background of Padang Lawas antiquities is Vajrayana or Tantrayana Buddhism. It’s supported by the new discoveries of two bronze sculptures from Candi/Biara Tandihat site, i.e. Garuda and Boddhisatva Padmapani. Now these sculptures are collected in Museum Negeri Sumatera Utara, Medan.
I. Pendahuluan
Padang Lawas merupakan suatu dataran aluvial yang terbentuk akibat sedimentasi dua sungai besar yakni Sungai Batang Pane dan Sungai Barumun yang membelah jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang membentang di sepanjang sisi barat Pulau Sumatera. Di tepian aliran dua sungai itulah hingga kini masih dapat dilihat sejumlah bukti kejayaan peradaban yang bercorak Hindu-Buddha.
Sebagian ahli purbakala (arkeolog) berpendapat kepurbakalaan di Padang Lawas adalah bukti kejayaan dari suatu kerajaan Hindu-Buddha, bernama Pane. Namun sebagian lainnya berpendapat bahwa kekunoan di Padang Lawas merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Perbedaan pendapat itu muncul karena hingga kini belum diperoleh data tertulis di situs ini yang secara tegas menunjuk pada nama kerajaan yang melatarbelakangi keberadaannya. Sehingga muncullah berbagai asumsi yang hingga sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli purbakala dan sejarawan.
Sebagaimana umur manusia ada batasnya, demikian pula halnya dengan peradaban di Padang Lawas. Goncangan pertama yang dialami oleh peradaban ini adalah pada tahun 1030 Masehi ketika penguasa kerajaan Cola -berada di India bagian selatan- yakni Rajendra I menyerang Panai yang diperkirakan merupakan kerajaan yang membangun kepurbakalaan di Padang Lawas. Meskipun pernah mengalami masa surut tampaknya kerajaan ini masih eksis hingga abad ke-14 M, yang dibuktikan dengan disebutkannya nama Panai sebagai salah satu wilayah kerajaan Majapahit yang berada di bumi Malayu oleh Prapanca dalam kitab karangannya Negarakertagama. Setelah masa itu tidak diketahui dengan pasti apakah Kerajaan Panai masih eksis dan biaro-biaronya dimanfaatkan sebagaimana fungsinya sebagai tempat persembahyangan. Hingga pada pertengahan abad ke-19 (tepatnya tahun 1837) saat Belanda dapat menaklukan wilayah Padang Lawas, sebagai bagian dari upaya Belanda mereduksi wilayah pengaruh kaum Padri di tanah Tapanuli.
Kemudian untuk mengetahui lebih banyak lagi mengenai daerah-daerah yang baru ditaklukannya, maka pemerintah Hindia Belanda mengutus seorang ahli geologi, yaitu Franz Junghun untuk melakukan eksplorasi. Pada tahun 1846 ia mendapat kesempatan untuk menyingkap tirai penutup daerah Padang Lawas yang telah berabad-abad terlupakan. Meskipun belum mendalam, setidaknya laporan atas apa yang telah dilakukannya di sana memunculkan rasa keingintahuan berbagai pihak. Sepuluh tahun setelah Junghun, kembali seorang penjelajah berkunjung ke Padang Lawas. Penjelajahan yang dilakukan oleh Rosenberg itu menghasilkan sejumlah temuan artefaktual, salah satu diantaranya berupa arca Buddha, yang dikirim ke museum di Batavia (Museum Nasional Jakarta sekarang). Pada tahun 1887 giliran seorang kontrolir bernama  Van Kerchoff menerbitkan karya tulis tentang kepurbakalaan di Padang Lawas.  Lalu pada tahun 1901 dan 1902 Residen Tapanuli membuat daftar mengenai kepurbakalaan di wilayah kerjanya termasuk pula kekunoan di situs Padang Lawas. Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1920 oleh seorang arkeolog Belanda bernama Dr. P.V. van Stein Callenfels makin menguatkan arti penting situs ini, sehingga segera disusul dengan sejumlah penelitian oleh Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Namun kegiatan itu segera terhenti karena kurangnya dana seiring terjadinya malaise (resesi ekonomi dunia). Hingga pada tahun 1935 seorang arkeolog Belanda yang lain bernama F.M. Schnitger melakukan penelitian intensif di situs ini, yang menghasilkan sejumlah temuan menarik (Koestoro dkk.,2001:11–12).
Kegiatan penelitian di Padang Lawas kembali dilanjutkan oleh Dinas Purbakala Indonesia sejak tahun 1952 hingga 1956. Sempat terhenti agak lama perhatian terhadap situs ini muncul lagi setelah suatu tim gabungan dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (Indonesia) dengan Pennsylvania University (Amerika Serikat) mensurvei kepurbakalaan di Pulau Sumatera termasuk di antaranya adalah Padang Lawas. Upaya nyata penyelamatan kepurbakalaan di Padang Lawas benar-benar terwujud dengan dipugarnya beberapa Candi/Biara mulai tahun 1983 yakni Candi/Biara Bahal I dan Candi/Biara Bahal II. Kegiatan pemugaran masih terus berlanjut hingga tahun 2004 terhadap candi-candi perwara di kompleks Biara Sipamutung oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh (wilayah kerjanya meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara), serta Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara. Selain kegiatan pemugaran, penelitian terhadap situs masa klasik (Hindu-Buddha) ini masih terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan sejak tahun 1994 hingga tahun 2002.
II. Data “Baru” dari Padang Lawas
Dua arca logam yang kini masih disimpan di ruang penyimpanan koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara hingga kini seolah terabaikan dari perhatian para peneliti purbakala. Hal ini terjadi salah satunya karena memang arca ini tidak diletakkan di ruang pamer sehingga bagi mereka yang tidak melihat koleksi-koleksi lain yang tidak dipamerkan sudah pasti tidak akan melihatnya.
Arca pertama (foto 1, 2, dan 3) adalah satu arca perunggu bernomor inventaris 3459, yang seluruh permukaannya sudah dilapisi patina. Secara umum dapat dipilah menjadi bagian utama berupa bujursangkar yang masing-masing sisinya berukuran 8 cm (berfungsi sebagai batur/landasan) dan tinggi 5 cm, yang pada satu sisinya terdapat penggambaran sosok yang bagian mukanya berparuh (lihat Foto 2), kedua tangan diangkat setinggi kepala seolah sedang menyunggi sesuatu, pergelangannya dihiasi masing-masing satu gelang, kedua kakinya yang berbentuk cakar burung terkangkang lebar, bagian tubuhnya digambarkan bertubuh manusia, lehernya dihiasi sebentuk klinting (lonceng kecil baiasanya dikenakan pada binatang-binatang piaraan atau kanak-kanak di Jawa), bagian dadanya dihiasi sebentuk pengikat dada, di dekat bahu yang berlanjut hingga sisi kedua tangannya terdapat tonjolan yang menggambarkan sayap dibentangkan (lihat Foto 1), sedangkan ketiga sisi samping lainnya polos; di atas permukaan bujursangkar terdapat bentuk bunga teratai berdiameter 3 cm setinggi 2 cm, yang di atasnya terdapat bentuk sepasang kaki manusia yang jari-jarinya menghadap ke arah bagian belakang kepala sosok berparuh tersebut (lihat Foto 3); sedangkan bagian bawahnya berlobang (kosong/tidak pejal). Menurut keterangan pihak Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, arca yang menggambarkan sosok berparuh ini ditemukan oleh anggota masyarakat di areal sekitar situs Candi/Biara Tandihat di Padang Lawas, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun sayang penemunya tidak menyebutkan secara pasti di mana tepatnya pada areal situs dimaksud dia menemukan arca logam tersebut.
Arca kedua (foto 4 dan 5) adalah satu arca perunggu bernomor inventaris 3478 setinggi 8 cm, dan lebar 4 cm, yang sudah dilapisi patina digambarkan dalam sikap duduk satvaparya?kasana (bersila, kaki kanan di atas kaki kiri), duduk di atas padma (teratai) yang sebagian besar sudah lenyap; tangan kiri dalam sikap vara/varadamudra (memberikan anugerah), mengenakan kelat bahu dan gelang pada pergelangan tangannya, demikian halnya dengan tangan kanan juga mengenakan kelat bahu, serta gelang pada pergelangannya, namun mulai bagian itu hingga telapak tanggannya sudah dalam keadaan putus, pada tangan kanan ini masih terlihat sisa sebentuk juntaian yang memanjang dari pertemuan (terjepit) lengan dengan tangan hingga ke pangkuannya. Bagian badan dihiasi oleh ikat pinggang, selendang yang terjuntai mulai bahu kiri menuju ke bagian kanan pinggang terus berlanjut lagi ke arah bahu kiri, mengenakan kalung yang menutupi hingga sebagian dari dadanya; dan bagian kepalanya dihiasi oleh mahkota yang dibentuk dari jalinan rambutnya (jatamakuta), meskipun samar-samar pada bagian mahkotanya masih tampak wujud Buddha Amitabha. Arca perunggu ini ditemukan oleh anggota masyarakat di areal sekitar situs Candi/Biara Tandihat di Padang Lawas, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan.
III. Pembahasan
Arca dari areal sekitar Candi Tandihat yang digambarkan kepalanya berparuh, berbadan manusia, dan bersayap, ternyata dijumpai pula di sejumlah tempat yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha (India) seperti Bali, Jawa, Thailand, Tibet, dan Jepang.  Sosok ini di Tibet disebut Khyung/Kading, merupakan burung mistis yang bentuknya menyerupai elang namun berukuran lebih besar hingga sanggup mengahalangi sinar matahari karena ukuran raksasanya itu. Di Jepang mahluk manusia-elang ini disebut Karura, dibayangkan memiliki nafas api, bersayap emas, dan mengenakan mahkota permata yang memiliki kekuatan magis di kepalanya (http://www.khandro.net/mysterious-garuda.htm). Di Jawa penggambaran sosok ini banyak terdapat di candi-candi terutama dari periode Jawa Timur seperti yang dapat dilihat pada relief Candi Kidal maupun arca perwujudan Airlangga dari Candi Belahan (kini di Museum Trowulan). Baik di India, Bali, maupun Jawa sosok tersebut disebut sebagai Garuda. Garuda adalah tokoh setengah dewa yang dalam mitologi Hindu dikenal sebagai wahana/tunggangan Dewa Wisnu. Tokoh ini dibayangkan bertubuh manusia namun berparuh elang dan memiliki sayap, tubuhnya berwarna emas, wajahnya putih, sayap berwarna merah, kepalanya mengenakan mahkota sebagaimana Dewa Wisnu.
Selain dalam kepercayaan Hindu, Garuda ternyata juga tampil dalam kepercayaan Buddha. Dalam mitologi Buddha Garuda adalah wahana bagi Amogasiddhi, salah satu Dhyani Buddha dalam Buddhisme mazhab Vajrayana. Nama Amogasiddhi dapat diartikan sebagai Penakluk Yang Perkasa atau Dia Yang Secara Tepat Mencapai TujuanNya, dalam bahasa Cina disebut Bu-Kong-Ching-Jou-For, dalam bahasa Jepang disebut Fuku-Jo-Ju, sedangkan dalam bahasa Tibet disebut Don-Grub. Sebagai salah satu Boddhisatwa dalam Buddha Vajrayana, Amogasiddhi digambarkan berada di sisi utara dari suatu mandala (diagram magis untuk upacara keagamaan). Kembali lagi pada Sang Garuda, dalam Buddhisme sosok ini melambangkan manusia yang sedang dalam masa perubahan menuju suatu kesdaran baru, perubahan dari keadaan manusia biasa ke keadaan manusia yang luar biasa, yang mengambil tempat dalam kemisteriusan gelapnya malam, dan tidak tampak oleh indra penglihatan. Hampir serupa dengan Buddisme Vajrayana, dalam Tantrayana Tibet Garuda melambangkan Dzongchen (Kesempurnaan Agung), yakni pencapaian tertinggi dalam meditasi (http://www.keithdowman.net/dzongchen/garuda.htm).
Di samping merupakan wahana bagi Amogasiddhi, Garuda juga digambarkan hadir bersama-sama dengan lima pasang sosok lain yakni sepasang singa, sepasang gajah, sepasang manusia cebol, sepasang makara, dan sepasang naga. Keenam sosok tersebut melambangkan sifat-sifat utama dari Buddha Shakyamuni. Sepasang singa melambangkan kebijaksanaan yang sempurna (prajna), sepasang gajah melambangkan pemusatan pikiran (konsentrasi) yang sempurna (dhyana), sepasang orang cebol melambangkan kesempurnaan karya (virya), sepasang makara melambangkan ketabahan yang sempurna (kshanti), sepasang naga melambangkan kesempurnaan moral (shila), sedangkan seekor Garuda merupakan lambang dari kedermawanan yang sempurna (dana) dari Sang Buddha.
Dilihat morfologinya yang menggambarkan manusia dengan kepala berparuh serta sepasang tangan yang dilengkapi sepasang sayap, tidak diragukan lagi arca perunggu pertama tersebut adalah arca Garuda yang menyunggi satu tokoh dewa. Namun masalahnya adalah siapa tokoh dewa yang disungginya tersebut ? Berbeda dengan penggambaran Garuda dan Wisnu dalam bentuk arca maupun relief yang mewakili Hinduisme yang banyak ditemukan di daerah Kepulauan Nusantara -yang jelas dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha- seperti di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Penggambaran Garuda bersama Sang Buddha di Kepulauan Nusantara hingga saat ini belum pernah ditemukan. Padahal pada suatu kurun waktu Buddhisme pernah sangat berperan dan berpengaruh besar di sejumlah kerajaan klasik di Nusantara seperti Sriwijaya atau Mataram pada masa Dinasti Sailendra. Apalagi Buddhisme yang banyak dianut baik di Sriwijaya maupun di Mataram boleh dikata satu mazhab dengan religi yang melatarbelakangi kepurbakalaan di Padang Lawas, yakni Buddha Tantrayana/Vajrayana (sebagian ahli berpendapat Vajrayana adalah perkembangan dari Tantrayana). Dalam Buddha mazhab ini dikenal adanya 5 Dhyani Buddha yakni Akshobhya, Amitabha, Amogasiddhi, Ratna Sambhawa, dan Vairocana. Penggambaran kelima Dhyani Buddha ini baik dalam wujud relief maupun arca (logam maupun batu) banyak ditemukan baik di Jawa maupun Sumatera. Namun sayangnya hingga kini belum ditemukan penggambaran kelima Dhyani Buddha tersebut bersama-sama dengan wahananya di Indonesia. Padahal jelas-jelas disebutkan dalam beberapa sumber tertulis Vajrayana bahwa kelima Dhyani Buddha itu masing-masing memiliki wahana, seperti Akshobhya wahananya adalah sepasang gajah, Amitabha wahananya adalah seekor burung merak, Ratna Sambhawa wahananya adalah seekor kuda, Vairochana wahananya adalah singa, dan Amogasiddhi wahananya adalah Garuda.
Kebalikan dari situasi yang ada di Indonesia, di Thailand ternyata telah ditemukan data yang menggambarkan Dhyani Buddha memiliki wahana sebagaimana para dewa dalam Hinduisme, seperti tampak pada satu relief batu dari abad VIII–IX M yang kini disimpan di Museum Nasional Chanthrakasem Thailand (Brown,1994:24, pl. 4) yang menggambarkan Buddha diapit oleh dua sosok lain berdiri di atas Garuda (lihat Foto 6). Contoh lain dari Thailand adalah satu amulet (ajimat) tanah liat bergambar Garuda menyunggi Dhyani Buddha Amitabha, yang lebih kontemporer (dari awal abad XX M) karya Bihksu Luang Phor Parn, dari kuil Wat Bang Nom Kho di Provinsi Ayuthaya (http://www.geocities.com/Tokyo/Teahouse/1428/lpparn.htm) (lihat Foto 7).
Berdasarkan analogi lokasi ditemukannya arca Garuda yakni di sekitar Candi Tandihat yang sifat keagamaannya -sebagian besar arkeolog sependapat- adalah Buddha Tantrayana, serta data pembanding dari Thailand ada kemungkinan tokoh dewa yang disunggi oleh Garuda tersebut adalah salah satu dari lima Dhyani Buddha, tepatnya Amogasiddhi yang digambarkan dalam sejumlah sumber rujukan Buddha Vajrayana memiliki wahana Garuda.
Arca kedua yang digambarkan dalam sikap duduk satvaparyankasana, tangan kanan dalam sikap varadamudra, sedangkan tangan kirinya meskipun mulai pergelangan hingga telapaknya sudah hilang namun masih menyisakan satu kunci penting untuk mengungkapkan identitasnya, yakni bentuk  juntaian yang memanjang dari pertemuan (terjepit) lengan dengan tangan hingga ke pangkuannya. Berdasarkan data pembanding yang berupa tiga arca perunggu Padmapani dari Kerinci (Suleman,1999:40), Thailand (Suleman,1999:40), dan satu arca perunggu Padmapani yang kini berada di British Museum, London (Kempers,1959:pl. 172–173), ketiganya memiliki Buddha Amitabha di mahkotanya, sikap tangan kanan varadamudra dan tangan kiri memegang setangkai padma (teratai/seroja, Nelumbo nucifera). Dari ketiga arca perunggu Padmapani tersebut terdapat salah satu ciri penanda penting dari Boddhisatva Padmapani yakni tangan kirinya memegang setangkai bunga seroja yang tangkainya memanjang hingga ke pahanya. Maka dapat dianalogikan bahwa bentuk  juntaian yang memanjang dari pertemuan lengan dengan tangan (terjepit) hingga ke pangkuan arca perunggu dari Padang Lawas adalah fragmen dari setangkai padma, sehingga jelaslah sudah identitasnya adalah Boddhisatva Padmapani.
Padmapani adalah penggambaran dari Boddhisatva Avalokitesvara yang bertangan dua (biasanya digambarkan bertangan empat atau lebih). Dalam kepercayaan Buddha Vajrayana, Boddhisatva Padmapani adalah Sang Penyelamat, Sang Pembebas, dari keadaan yang berbahaya. Dia lah Boddhisatva yang dimintai oleh para pedagang, pelaut, serta para biksu -yang seringkali berdagang, berlayar, dan menyebarkan dharma (kebajikan) di tempat-tempat atau waktu yang kadang tidak bersahabat- pertolongannya untuk membebaskan serta menyelamatkan mereka dari mara bahaya (Gupte,1972:112–113). Sehingga tidak aneh bila kelompok-kelompok tersebut yang menganut ajaran Sang Buddha membawa bentuk-bentuk penggambaran Boddhisatva Padmapani dalam perjalanannya. Termasuk di antaranya dalam bentuk arca perunggu seperti yang ditemukan di Padang Lawas.
Penemuan arca Boddhisatva di Padang Lawas memang suatu hal yang tidak mustahil mengingat: pertama situs Padang Lawas adalah situs yang temuan-temuannya didominasi oleh artefak-artefak yang dapat dihubungkan dengan aktivitas religi terutama Buddha Vajrayana/Tantrayana; kedua selain sebagai tempat yang sifatnya religi, Padang Lawas pasti didukung kelangsungannya oleh aktivitas yang sifatnya profan, di antaranya adalah perdagangan. Berbagai mata dagangan yang dihasilkan oleh daerah sekitar Padang Lawas maupun yang didatangkan dari luar untuk memenuhi kebutuhan para pendukung budaya Padang Lawas, tentu disalurkan oleh para saudagar setempat maupun dari luar, yang diangkut dengan perahu-perahu yang menghiliri serta memudiki Batang Pane, Aek Sirumambe, dan Batang Barumun. Dalam perjalanan itu tidak menutup kemungkinan ikut serta para biksu serta para peziarah dalam perahu-perahu itu, yang dalam perjalanannya mungkin akan menjumpai halangan. Oleh sebab itu mereka memerlukan hadirnya sesuatu yang mereka anggap dapat menjamin keamanan atau keselamatan mereka menuju ke tempat yang hendak dicapainya. Hingga tidaklah mengherankan ketika kini ditemukan satu arca perunggu Padmapani di Padang Lawas, sebab dia dipercaya sebagai Sang Penyelamat, Sang Pembebas, dari keadaan yang berbahaya.
IV. Penutup
Keberadaan dua data “baru” dari Padang Lawas yang berupa dua arca perunggu yakni arca Garuda menyunggi sosok dewa (mungkin Amogasiddhi) dan arca Boddhisatva Padmapani, menambah perbendaharaan artefak, khususnya logam, dari Padang Lawas. Hal yang lebih penting selain bertambahnya jumlah adalah yang berkaitan dengan aspek kepercayaan pendukung tamadun Padang Lawas, yang semakin jelas -sekaligus memperkokoh pendapat sejumlah ahli- dengan ditemukannya kedua artefak logam tersebut, adalah Padang Lawas dahulu antara abad X hingga XIV/XV M pernah hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha khususnya mazhab Tantrayana/Vajrayana.
Kepustakaan
Brown, Robert, L., 1994. ‘Rules’ for Change in The Transfer of Indian Art to Southeast Asiaan dalam Marijke J. Klokke & Pauline Lunsingh Scheurleer (ed.): Ancient Indonesian Sculpture. Leiden: KITLV Press
Gupte, R.S., 1972. The Iconography of Hindus, Buddhists, and Jains. Bombay: D.B. Taraporevala Sons & Co. Private Ltd.
http://www.geocities.com/Tokyo/Teahouse/1428/lpparn.htm
http://www.keithdowman.net/dzongchen/garuda.htm
http://www.khandro.net/mysterious-garuda.htm
Kempers, A. J. Bernet, 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard     University Press
Koestoro, Lucas P., dkk., 2001. Biaro Bahal Selayang Pandang. Medan: MAPARASU
Suleiman, Satyawati, 1999. Sculptures of Ancient Sumatra. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi     Nasional

Asal Usul Suku PakpaDairi dan Pakpak Baratk di

Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

Arsip untuk kategori ‘Ery Soedewo,M.Hum.

JEJAK KEINDIAAN (HINDU-BUDDHA) DALAM KEBUDAYAAN PAKPAK

Ery Soedewo
Balai Arkeologi Medan

Absract
Pakpak as one of the ethnic group in North Sumatera, showed that its cultural heritage had been
influenced by Indian culture.
Indian culture added into Pakpak culture then enriched it. This addition didn’t change Pakpak’s identity.
Kata Kunci: Pakpak, Hindu-Buddha, perdagangan
I. Asal-usul dan persebaran orang Pakpak