SI BURSOKRAJA ( OMPU SINAMBANG )
Sumber : http://pungsin.wordpress.com/page/2/
(Punguan Sinurat)
Posted on September 25, 2010 by dunkom
Dalam buku Pusataha Tarigot Taronggo
nibang Sobatak ( 1926)yang disusun Demang Waldemar Hutagalung dai
Pangururan, dikatakan Si Busokraja adalah putera sulung Sinabang, yang
membuat namanya Ompu Sinabang dan kemudian hari menjadi Ompu
Lahisabungan.
Debangraja ( Sidebang = Sinabang ) yang
kawin dengan Panamean boru Sagala mempunyai anak laki – laki 4 (empat)
orang sampai dewasa keempat anak ini belum dibuat namanya sehingga
selalu dipanggil sibursok ( panggilan kepala anak laki – laki sejak
lahir ). Bila orangtuanya atau temannya memanggil (Bursok) mereka sama –
sama menjawab, sehingga merasa malu dan kesal.
Pada suatu ketika anak sulung Sinabang
mengumpulkan adik – adiknya dan berkata :” karena orang tua tidak
membuat nama kita, bagaimana kalu masing – masing kita memilih nama,
supaya jangan merasa malu melihat teman – teman. Badan kita sudah dewasa
tidak pantas lagi dipanggil Sibursok,” katanya. Adiknya mengangguk
tanda setuju. Kemudian ia berkata :” kalau kita memilih nama tidak boleh
lagi berobah dan kita harus berjanji, dengke ni Sabulan tu tonggina tu
tabona, manang ise siose pada tu ripurna tu magona. “ ( barangsiapa yang
melanggar janji akan hidup sengsara ).
Setelah mereka seia – sekata mengingat
janji, anak sulung menanya nama adik – adiknya. Anak kedua menjawab :”
tak mungkin kami lebih dulu punya nama, pantasnya abang anak pertama
yang lebih dahulu punya nama,” katanya. Anak sulung itupun berkata
:”kalau begitu, baiklah, nama saya Ompu Sinabang,” katanya. Semua
adiknya terkejut mendengar pilihan abangnya lalu berkata :”mana mungkin
nama ompu Sinabang, sedang ayah kita bernama Debangraja.” Tetapi karena
mereka sudah memikat janji, adiknya pasrah menerima dan anak kedua
memilih namanya Si Ari, anak ketiga memilih namanya Si Taon, anak
keempat memilih namanya Si Badung. Ketiga adiknya merasa cemas
memikirkan tidakan orangtuanya kepada abangnya, bila mendengar namanya
itu.
Pada malam harinya sewaktu mau makan,
ompu Sinabang pura – pura sibuk bermain – main dihalaman rumah. Karena
nasi dan lauk pauk telah terhidang, ayahnya menyuruh anaknya memanggil
abangnya supaya sama – sama makan. Si Ari memanggil :” Ompu Sinabang ;
Mari makan.” Katanya. Tetapi ia pura–pura tidak mendengar, lalu Si Taon
dan Si Sidung memanggil :” ayo cepat Ompu Sinabang ! nasi sudah
terhidang kata mereka bergantian. Ayah mereka Sidebang Raja terkejut
mendengar nama mereka bergantian. Selera makan menjadi hilang, mukanya
jadi murung karena pikiran terganggu. Demikian juga ibu boru Sagala
merasa tidak enak mendengar panggilan putera sulungnya itu. Ulah
siapakah ini ? mungkinkah karena ejekan dari teman – temannya ?
Pada saat itu ayah mereka Debangraja
masih menahan emosinya dan termenung memikirkan perbuatan anak –
anaknya. Karena setiap memanggil anak sulungnya disebut ( Ompu Sinabang )
maka pada suatu hari Debangraja mengumpulkan anak – anaknya dan berkata
:” Ise Mambahen goarmu Ompu Sinebang, ai goarhu do Debangraja, Gabe
Marompung ma ahu tu ho ?“ ( Siapa membuat namamu Ompu Sinabang, sedang
namaku Sidebangraja, jadi memanggil nenekkah aku kepadamu ? ) katanya
dengan nada membentak.
Si Bursokraja ( Ompu Sinebang ) menjawab
:” ahu do mamillit goarhu Ompu Sinabang jala dang na mandok asa
marompung hamu tu ahu !” ( saya yang memilih namaku Ompu Sinabang dan
tak ada maksudku agar ayah memanggil nenek kepadaku ) katanya dengan
tegas. Ayahnya debangraja mulai marah dan berkata :” ganti goarmi, molo
so diganti ho ndanghuetongbe ho anakku !” ( ganti Namamu itu, dengan
nada mengancam. Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang) menjawab :”
Nunga marpadan ahu dohot muba,” ( kami sudah berikrar dengan adik – adik
ini, nama yang kami pih tidak boleh berubah, bagaimanapun ayah, nama
yang kupilih itu tidak akan berubah.) katanya dengan tegas sedikit pun
tidak merasa takut.
Dengan emosi ayahnya Dedangraja berdiri
lalu berkata :” Laho ma ho sian jolongkon, anak na so hasea do ho.
Huetong ma ho tilaha na mate dibuat ngenge, holan anggim na tolu on pe
anakhu las ma rohangku.” ( Pergilah kau dari rumah ini, anak durjana kau
rupanya. Kuanggap kau yang sudah meninggal akibat penyakit cacar, dan
hanya adikmu yang tiga orang ini pun anakku, berbahagialah aku),
katanya sambil mengusir Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ).
Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang )
berdiri mengumpulkan pakaiannya lalu berkata:” Borhat ma au amang ,
andalu do panduda anduri pamiari. Ndang tarjua amang pandok ni soro ni
ari.”( Berangkatlah saya ayah, sudah begini rupanya suratan badan
).katanya sambil menyalam ibu dan adik- adiknya . Ayahnya Debangaraja
berkata dengan tegas :”tuktuk ma pangirmu , dompak mata ni ari , tuntun
ma lomom, unang ho sumolsol bagi. Adong do ruma ijuk, panoloti
donasoada, adong do sipaingot pangoloim do na so ada.”( Yah , teruskan
tekatmu, jangn kau menyesal nanti, kaena diberi nasehat kau tidak mau
menuruti).
Sejak peristiwa ini Si Borsokraja (ompu
Sinabang ) pergi melalang buana dan bertekat tidak akan kembali lagi ke
Silalahi Nabolak dan akan merahasiakan asal – usulnya kepada
keturunannya di kemudian hari . Dia berangkat menuju Balige untuk
menjumpai Siraja Bunga – bunga (Siraja Parmahan ) yang telah dinobatkan
Tuan Sihubil menjadi anak kesayanga di Hinalang Belige.
Si Borsokraja (Ompu Sinabang) berjalan
menepi – nepi pantai menuju Pangururan di pulau Samosir . Setelah ia
tiba di Pangururan di dengarnya ada seorang puteri Raja Simbolon yang
cantik rupawan dan pandai berperi bahasa dan teka –teki ( marundang –
undangan dohot marhuling –hulingan). Mendengar berita itu ia tertarik
dan berniat akan mencoba kepandaian puteri raja serta melamarnya.
Si Bursokraja ( ompu Sinabang ) pergi
menjumpai puteri raja yang sedang bertenun diatas sopo . dengan
membunyikan saga – saga / hodong ( sejenis alat musik ) dia berkata:
“Natiniptip sangar mambahen huruhuruan < jumalo sinungkun marga asa
binoto partuturan . molo na mariboto dengan do marsijalangan, molo na
marpariban denggn do marsihaholongan :”( Dipotong – potong pinpin,
dibuat sangkar burung, lebih dahulu tanya marga supaya jelas kerabat
penghubunmg. Kalau bersaudara baik jaga bersalaman, kalau putri paman
alangkah baiknyamemadu cinta kasih sayang, katanya sambil melihat ke
atas sopo itu .
Mendengar tutur kata melalui saga – saga
itu, putri raja tercengang dan melihat seorang pemuda datang
mendekatinya , tampangnya gagah perkasa menunjukan seorang keturunan
raja. Puteri rajapun menjawab dengan saga – saga :”Amang raja doli , na
ro manungkum mandiori, ia siboruadi I ma Si Rumandangbulan Si
Sindarmataniari , na tong – tong lungun – lungan paima –ima si tuan doli
na gabe sirongkap ni tondi , boru ni Simbolontuan na malo manotari. “(
yah anak perjaka yang mencari, namaku adalah Si Romundang bulan
SiSindarmataniari, yang selalu merindukan pemuda teman sehidup semati,
puteri Simbolon tuan yang bijak mentari ) katanya memperkenalkan diri.
Kemudian Si Bursokraja ( Ompu Sinabang )
meperkenalkan dirinya cucu Raja Silahisabungan yang Hidup berkelana
mengadu untung di rantau orang dan berkata : “ Sibigo pidong Toba,
sitapi-tapi pidong jau, Adung na solot di bagasan roha, tu ise iba
mengadu-adu ?” ( Sibigo burung toba, sitapi-tapi burung jauh, ada
terselip dalam hati, kepada siapa saya akan mengadu ? ) katanya
menyampaikan cinta kasihnya kepada putri raja itu.
Mendengar nama raja Silahisabungan yang
terkenal seorang Datu Bolon, Sabungan ni hata, sabungan ni habisuhon,
putri raja pun berpikir sejenak dan berkata : “ Molo toho do adong
holong diate-ate, denggan ma pasahat tu damang simbolon tuan, alai
jumolo lului ma di ahu bagot ni horbo tunggal !” ( kalau benar dolok
tolong di balige, dolok pusukbuhit di Pangururan, kalau benar ada cinta
didalam hati sampaikanlah kepada ayah Simbolontuan, tetapi cari dulu
untukku susu kerbau jantan ) katanya mencoba keahlian si Bursokraja (
Ompu Sinabang ).
Kemudian si Bursokraja ( Ompu Sinabang )
berpikir bahwa permintaan puteri raja itu adalah teka-teki (
undang-undangan = torkan-torkanan ) lalu menjawab :
“ Mauliate ma boru ni rajanami, sude
pangidoanmi luluanku do i, alai paborhat ma tugongku boras ni
sirumondang bulan, sidua sangkabona, meam-meam ni dakdanak harosuon ni
na magodang !” ( terima kasih putri Raja, semua permintaanmu aka
kupenuhi, tapi berikanlah bekalku, buah Sirumondangbulan, yang dua
setangkai, permainan anak – anak, kesukaan orang dewasa.) katanya
menjawab teka – teki itu.
Puteri Raja itu termenung memikirkan teka
– tekinya ( undang – undangannya) sudah terjawab, lalu berkata : “
Molo boti, nangkok ma hamu tu lambunghon, alai unang dege belatuk (
tangga ) i . “ (Kalau begitu, naiklah kamu kesampingku, tetapi jangan
pijak tangga itu ). Katanya mengajak Sibursokraja ( Ompu sinabang )
sambil mencoba keahliannya. Dengan Spontan Si Bursokraja ( Ompu Sinabang
) Membuka Topinya dan berkata :” Tiop Ma tahulup on tanda na
marsijalangan kita.” ( peganglah topiku ini tanda kita bersalaman),
katanya sambil melemparkan topinya kepada putri raja untuk menjawab teka
– teki Putri itu.
Kemudian Putri Raja mempersilahkan Si
Bursokraja ( Ompu Sinabang ) naik keatas lalu mereka bersalaman dan
berbincang – bincang dengan penuh kemesraan. Setelah beberapa lama
mereka berkanalan dan memadu cinta akhirnya mereka kawin yang direstui
orang tua Raja Simbolontuan.
Pada Suatu ketika istrinya
Sindarmataniari br.Simbolon meminta kepada Ompu Sinabang agar mereka
pergi memperkenalkan diri kepada mertuanya di Silalahi Nabolak. Tetapi
dijawab Ompu Sinabang dengan halus :” sabarlah dulu menunggu waktu yang
tepat,” katanya untuk menyembunyikan Rahasianya. Setelah beberapa kali
diajak istrinya dan didesak mertuanya agar mereka pergi menjumpai
orangtua di Silalahi Nabolak, akhirnya Ompu Sinabang terpaksa menyetujui
dan berkata :” Molo boti jumolo laho ma ahu tu Balige, mandapothon
dahahang Siraja Bunga – bunga ( Siraja Parmahan ) asa Adong donganta
mandapothon damang !” (Kalau begitu, lebih dulu saya pergi ke Balige,
menjumpai abang Siraja Bunga- bunga (Siraja Parmahan) supaya ada teman
kita menjumpai ayah !”) katanya berdalih untuk menyembunyikan Rahasinya.
Si Sindamataniari br.Simbolon dan mertuanya menyetujui, karena dianggap
alas an Si Bursokraja ( Ompu Sinabang ) sangat baik. Berangkatlah Ompu
Sinabang.
Pada Saat ompu Sinabang tiba di Muara,
rupanya ada terjadi perang diantara Toga Sianturi ( Marga Simatupang )
dengan pihak lain. Setelah Toga Sianturi berkenalan dengan ompu
Sinabang, Toga Sianturi meminta bantuan Ompu Sinabang sebagai panglima
perang, karena diketahui bahwa ia adalah keturunan Raja Silahisabungan
yang terkenal di antara kawan atau musuh. Mendengar panglima perang Toga
Sianturi keturunan Raja Silahisabungan, musuhnya pun lari Meninggalkan
Muara.
Karena jasa Ompu Sinabang dan untuk
menjaga keamanan negeri, Toga Sianturi mengawinkan Putrinya Siboru
Anting Haomasan dengan Ompu Sinabang. Toga Sianturi memberikan pauseang
kepada menantunya yakni “ Sopo sianting – anting dan mas Sihosari / Mas
Siboru lote.”
Pada suatu ketika istrinya Siboru Anting
Haomasan meminta agar mereka pergi menjumpai mertuanya di Silalahi
Nabolak bersama istrinya Siboru Anting haomasan berangkat meninggalkan
Muara. Mereka diberangkatkan Toga Sianturi dari Bontean onon batu dengan
Solu Jagaibuar ( perahu besar ) bersama Sopo Sianting – anting di
atasnya. Mereka berangkat menuju Silalahi Nabolak melalui tao lontung
untuk menjauhio jejak dari Pangururan.
Pada saat mereka berlayar di tao
Ambarita, Ompu Sinabang melihat ada orang melambai- lambaikan tangan
(manghilap ) seakan – akan memanggil supaya mereka berlabuh kapantai
Ambarita. Rupanya saat itu ada upacara “ Manarsar Lambe “ ( menyembah
dewa laut ) yang dilakukan penduduk negeri yang bermaksud mengadakan
Horja Sakti Mangalahat Horbo Bius di Ambarita.
Setelah penduduk negeri yang terdiri dri
marga Sidabutar, Siallagan dan Rumahorbo ( Keturunan Nai Ambaton )
beserta marga manik keturunan Silauraja berkenalan dengan Ompu Sinabang,
maka penduduk berkata :” Nunga sada tua on, ro hamu pomparan ni Raja
Bolon, diulaon “ manarsar Lambe. Ala naeng mangalahat horbu bius luat
Ambarita on, beha tung dohot hamu di Horja on !” ( sudah satu berkat
ini, datang, datang keturunan Raja Besar pada Manarsar lambe ini. Karena
akan diadakan pesta besar“ mangalahat Horbo Bius “ di Ambarita ini,
bagaimana kalau kalian ikut dalam pesta ini ) kata mereka mengajak Ompu
Sinabang dan Istrinya. Ompu Sinabang menjawab dengan rendah hati :”
baris – baris ni gaja tu rura Pangaloan, molo mangido raja dae do so
oloan, molo so noloan tubu do hamagoan, molo nioloan sai tubu do
pangomoan !” ( Permintaan raja tak boleh ditolak ) katanya tanda setuju
sambil memberikan pengertian kepada istrinya Siboru Anting Haomasan.
Kemudian Ompu Sinabang berkata:” Molo boi jumolo hualap ma boru ni raja i
Si Sindarmataniari br.Simbolontuan sian Pangururan asa rap manortor
hami di horja on !” ( kalau boleh kujemput dulu puteri raja Si
Sindarmataniari br. Simboluntuan dari Pangururan supaya kami sama – sama
menari pada pesta ini ) katanya sambil meminta persetujuan istrinya
Siboru Anting Haomasan.
Kemudian penduduk negeri keturunan Raja
Nai Ambaton berkata :” Na uli ma tutu I, ai Raja ni borunami do hamu
ape. Hunga Singkop be horja sakti on, ai nunga adong Raja ni Hula – hua,
Raja ni Dongan tubu dohot Raja ni Boru !” ( sungguh baik sekali, upaya
kalian adalah menantu kami. Sudah lengkap pesta besar ini, sudah ada
Raja ni Hula – hula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru) kata Mereka.
Kemudian Ompu Sinabang pergi ke
Pangururan menjemput istrinya Sindamataniari br, Simbolon dan membujuk
agar ikut ke Ambarita mengikuti Horja Sakti mangallang horbo bius yang
dibuat keturunan Raja Nai Ambaton.
Sewaktu Ompu Sinabang merari bersama
Istrinya, dibuatnya Si SIndarmataniari br.Simbolon disebelah kanan
sedang Siboru Anting haomasan br.Simatupang disebelah kirinya. Pada
pesta Horja Sakti itu, dinobatkan Ompu Sinabang menjadi Boru Bius dan
diberikan Ulos so ra buruk, yairu tano Tolping. Dengan diangkatnya Ompu
Sinabang menjadi Boru Bius, maka dengan berbagai upaya dia membujuk
kedua istrinya agar tetap tinggal di Tolping lalu berkata :” untuk apa
lagi kita pergi ke Silalahi Nabolak, sedang kita sudah ditetapkan
menjadi Boru Bius, nanti kita dianggap kurang menghargai pemberian Raja
ni Hula – hula,” katanya berdalih supaya rahasianya tertutup.
Ompu Sinabang bersama kedua istrinya
akhirnya membuka kampung dan tinggal di Tolping. Setelah hampir satu
tahun mereka tinggal di Tolping, kedua istrinyapun mengandung.
Pada suatu hari istrinya Sindamataniari
berkata :” kami sudah sama – sama hamil tua dengan Anting Haomasan,
tidak mungkin satu Rumah. Kalau boleh antarkan lah saya ke Pangururan,
biar disana aku melahirkan ,” katanya dengan pasrah. Setelah Ompu
Sinabang berembuk dengan kedua istrinya maka diantarlah Sindarmataniari
ke pengururan.
Baru beberapa hari mereka tinggal di
Pangururan lahirlah seorang anak laki – laki. Saat Sindarmataniari
melahirkan, tiba pula utusan dari Tolping memberitahukan bahwa Siboru
Anting Haomasan telah melahirkan seorang anak laki – laki. Ketika utusan
dari Tolping mengajak Ompu Sinabang, ipar (eda ni ) Sindarmataniari
berkata:” Jumolo mangan ma hati amang, ai dison pe nunga seorang Si
Bursok,” (makanlah dulu kita amang, disini pun sudah lahir SI Bursok)
katanya menyambut utusan itu.
Mendengar kata – kata “Sibursok” yang
diucapkan besannya (baona), Ompu Sinabang tidak mau makan dan mukanya
terlihat murung. Istrinya Sindarmataniari br.Simbolon memperhatikan
perilaku suaminya itu lalu berkata :” Boasa ndang mangan hamu, ai aha
huroha na hurang ?” ( mengapa kamu tidak makan, apa kiranya yang
kurang.) katanya sambil menyodorkan sirih. Ompu Sinabang menjawab dengan
teka – teki :” Pantang dohonan ni besan (bao) songon I asa sinur
pinahanna!” ( pantang diucapkan besan begitu begitu supaya peliharaannya
baik ) katanya sambil mengunyah sirih yang diberikan istrinya.
Istri dan besannya itu saling
berpandangan mendengar kata – kata Ompu Sinabang itu. Kemudian utusan
dari Tolping itu berbisik :”ra, Sibursok do goar ni amang on, Alana goar
ni besan (bao) naso jadi dohonan.” ( mungkin nama amang ini Sibursok,
karena nama besan pantang disebutkan) katanya dengan pelan.
Semua yang hadir mengerti dan sejak itu
anak yang baru lahir itu disebut “Si Pantang “. Menurut kebiasaan marga
Silalahi di Pangururan bila lahir anak laki – laki tidak boleh disebut
Sibursok seperti kebiasaan orang batak.
Setelah selasai robu – robua ( tujuh hari
tujuh malam ) Ompu Sinabang pergi Tolping dan dijumpainya Siboru Anting
Haomasan sedang menyusukan anaknya. Ompu Sinabang kepada istrinya:”
Sudah dua orang anakku Laki – Laki, terima kasihlah kepada Mula jadi,
kiranya mereka menjadi anak yang bijak bestari,” katanya dengan penuh
harapan, mengingat kutukan ayahnya dari Silalahi.
Setelah kedua anaknya itu besar
diajarkannya berbagai Ilmu Pencaksilat dan sering diadu pertandingan
sepak terjang terjang ( Martada ), ia disebut Martada, maka ia disebut
partada. Keturunan Si Pantang tinggal di Pangururan dan keturunan
partada tinggal dan memekai marga Silalahi.
Setelah Partada beranak di Tolping,
datang pula kesana keturunan Siraja Silahisabungan telah (Manjaee sian
Bius Amping, Karena banyak keturunan telah banyak bermukim di Tolping
karena keturuannaya telah banyak karena keturunan Raja Silahisabuguan
telah banyak bermukim di tolping ) yang disebut Bios Tolping denga Raja
tanah pemangku Raja adar :”
1. pande bona ni ari marga Silahoho dai dibisa2. Pande Nabolon marga Silalahi dari Sibisa
3. Raja Panuturi marga Silalahi keturunan Partada.
4. Raja Panullang marga Sigiru dari bukit.
Dengan terbentuknya Bius Tolping maka
tanah keturunan Raja Silahisabungan di pulau Samosir “ tano so magotap
sian Parbaba sahat tu Tolping.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar