SIRAJA TAMBUN DI SIBISA
Sumber : http://pungsin.wordpress.com/page/2/
(Punguan Sinurat)
Posted on September 22, 2010 by dunkom
DALAM PERJALANAN DARI Silalahi Nabolak,
Raja Silahisabungan menceritakan perkawinannya dengan Siboru Nailing
putrid Raja Mangarerak kepada anaknya Siraja Tambun.
Karena perkawinan kami dahulu mempunyai masalah jadi kemungkinan kehadiranmu diSibina ini menimbulkan persoalan. Jadi kau anakku – harus hati –hati dan pandai bergaul. Disamping ilmu yang kau miliki perlu kau ingat :” pantun hangoluan, tois hamagoan.” Bila anakku berperangi sopan ( santun, Porman, toman, ) dalam hidupmu maka tercapailah kebahagiaan hidup dan apabila kamu lengah (tois) menghadapi masalah akan timbul malapetaka. Dikampung kita, perasaanmu sangat sedih karena perbuatan abang – abangmu, tetapi mungkin lebih sakit lagi perasaanmu nanti di Sibisa ini, kata Raja Silahisabungan samil memberikan sebuah cincin ( tintin Tumbuk ) yang diserahkan Siboru Nailing sewaktu mereka berpisah dahulu. Cincin inilah nanti tunjukkan, pertanda kau adalah anak Siboru Nailing katanya kepada Siraja tambun.
Karena perkawinan kami dahulu mempunyai masalah jadi kemungkinan kehadiranmu diSibina ini menimbulkan persoalan. Jadi kau anakku – harus hati –hati dan pandai bergaul. Disamping ilmu yang kau miliki perlu kau ingat :” pantun hangoluan, tois hamagoan.” Bila anakku berperangi sopan ( santun, Porman, toman, ) dalam hidupmu maka tercapailah kebahagiaan hidup dan apabila kamu lengah (tois) menghadapi masalah akan timbul malapetaka. Dikampung kita, perasaanmu sangat sedih karena perbuatan abang – abangmu, tetapi mungkin lebih sakit lagi perasaanmu nanti di Sibisa ini, kata Raja Silahisabungan samil memberikan sebuah cincin ( tintin Tumbuk ) yang diserahkan Siboru Nailing sewaktu mereka berpisah dahulu. Cincin inilah nanti tunjukkan, pertanda kau adalah anak Siboru Nailing katanya kepada Siraja tambun.
Setelah mereka tiba di Sibisa, Raja
Silahisabungan mendengar kabar bahwa Siboru Nailing belum lagi kawin,
lalu ia menerangkan ciri – ciri Siboru Nailing kepada Siraja Tambun.
Kemudian Raja Silahisabungan membawa Siraja Tambun keumbul ( mual )
Simataniari dan berkata :” Disinilah tunggu ibumu itu, nanti sore ia
pasti mandi dan mengambil air dari umbul ini,” katanya dengan penuh
keyakinan.
Pada sore harinya Siraja Tambun melihat
seorang perempuan pulang dari umbul membawa air lalu ia menyapa :” inang
boi do inumonku saotik mual na binoanmi ? nunga mauas ahu!” (bu,
bolehkah sedikit air itu itu saya minum ? sudah haus aku ) katanya minta
belas kasihan. Lalu perempuan itu menjawab dengan tercengang : Ise do
hamu ito, jala sian dia hamu ro tu huta on ? songon na lulu roha mauas
hamu dibot ni ari !” ( siapakah kamu ito, dan dari mana datang kekampung
ini ? seperti tak masuk akal, merasa haus ito pada sore hari ) katanya
sambil memberikan air untuk diminum Siraja Tambun. Setelah Siraja Tambun
minum lalu ia berkata :” jolma na dangol do baoadi, na madekdek sian
langit, na mapultak sian bulu bolon na maos – aos malungun mangalului
inang pangintubu,” ( manusia malangnya aku, yang jatuh dari langit dan
lahir dari ruas bamboo, yang sudah lam berkelana dan rindu mencari ibu
yang melahirkan ) katanya dengan sopan santun. Mendengar ucapan kata –
kata itu, perempuan itu teringat kepada anaknya yang dibawa Raja
Silahisabungan dulu, lalu berkata:” Ala Naung bot ari ito, tu jabunami
ma jolo hamu marborngin, sai na patuduon ni mulajadi Nabolon do na
niluluanmi,” ( karena hari sudah sore, dirumah kamilah ito bermalam,
Tuhan Yang Maha Kuasa akn memberi petunjuk nanti kepadamu ) katanya
sambil mengajak Siraja Tambun supaya ikut ke rumah orangtuanya.
Siraja Tambun menyambut ajakan perempuan
itu karena itu karena ia yakin bahwa itulah ibunya sesuai dengan ciri –
ciri yang diterangkan Raja Silahisabungan. Setelah mereka tiba dirumah
Raja Mangarerak dan pamannya Toga manurung bertanya :”Siapa pemuda ini
Boru Nailing ?” kata Taja Mangarerak. Siboru Nailing menjelaskan
pertemuan mereka di Mual Simatraniari lalu berkata :” na asi do rohangku
mamereng, aia didok ndang marama – marina ibana, ala naung bot ari
hutogihon ma tu jabu asa dison ibana. Marbongin.” ( kasihan aku
melihatnya, karena katnya tidak ada ayah – ibunya, karena hari sudah
sore maka kuajak kerumah untuk bermalam.)
Raja Mangarerak berkata :” unang ma
mambahen persoalan muse baoa on. Nunga songon bagianmu ditinggalhon Raja
Silahisabungan , sotung mambahen gora ho muse diluat on , “(jangan
nanti pemuda ini membuat persoalan , sudah demikian nasibmu ditinggalhon
Raja Silahisabungan , jangan lagi kau membuat huru –hara dinegeri ini )
katanya dengan nada keras . lalu adik Siboru Nailing, Toga Manurung
berkata : “ndang songon amang , dengg tasungkun baoa on manang na olo do
mangurupi hita. “ (jangan begitu ayah , lebih baik kita tanya pemuda
ini apakah dia mau membantu kita.) katanya sambil menanya Siraja Tambun.
Setelah mendengar kata – kata Raja Manggarerak dan pernyataan Toga
Manurung lalu ia menjawab :” Molo holong do roha ni raja I manjampi ahu
gebe hatoban do ahu,” ( kalau Raja menginginkan aku, menjadi hamba pun
saya mau ) katanya merendahkan diri karena dia sudah yakin bahwa Siboru
Nailing itulah ibunya tetapi masih disembunyikan menjaga hal – hal yang
tidak diinginkan. Sejak hari itu, Siraja Tambun menjadi pembantu Toga
Manurung untuk mengembalakan ternak (permahan ) dan pekerja lainnya.
Dari pertemuan di Umbul (mual)
Simataniari, Siboru Nailing merasa ada kontak batin membuat ia sayang
melihat pemuda itu ( Siraja Tambun ) tetapi ia tidak mau bertanya siapa
sebenarnya pemuda itu, walaupun Siraja Tambun sebagai pembantu (hamba)
dirumah toga Manurung tetapi Siborung Nailing memperlakukannya sebagai
tamu biasa, kalau ia disuruh mengantar nasi Siraja Tambun keladang
selalu dibuat makanan yang enak bukan makanan seorang pembantu. Dan
mereka sering bercakap – cakap bersenda gurau bagaikan seorang ibu dan
anak.
Pada suatu hari Siboru Nailing pergi
keladang mengantar nasi Siraja Tambun. Karena hari terasa sangat terik
Siboru Nailing mengajak ia ( Siraja Tambun ) supaya berteduh dibawah
pohon rindang melepaskan lelah. Sewaktu mereka bercakap – cakap, karena
lelahnya Siraja Tambun terlena dan tidur dipangkuan Siboru Nailing.
Karena Siboru Nailing terlambat pulang sebagai biasa, Toga Manurung
pergi keladang melihatnya. Saat itulah Toga Manurung terkejut melihat
Siraja Tambun tertidur dipangkuan Siboru Nailing, lalu berkata :” na so
adat na so uhum do pambahenmo. Ho sada hatoban barani pulut modom
diabingan ni Siboru Nailing. Jolma na jahat do huroha baoa on, jadi
ingkon uhumon do ibana jala beanghonon.
( Perbuatanmu sudah melanggar hukum dan
adat . Kau adalah seorang hamba, tetapi tega tidur di pangkuan Siboru
Nailing .Orang jahat kau rupanya , jadi kau harus di pasung ) kata Toga
Manurung sambil memarahi kakaknya Siboru Nailing . Siboru nailing tidak
dapat berbuat apa – apa dan Siraja Tambun pun dihukum pasung .
Setelah Siraja Tambun dipasung terjadilah
malapetaka di uluan. Sudah hampir enam bulan terjadi musim kemarau
panjang mengakibatkan tanah Uluan menjadi kekeringan. Akibat musim
kemarau itu Raja Manggarerak dan Toga manurung mencari dukun untuk
“marmanuk diampang” menanya penyebab malapetaka yang menimpa negeri
uluan. Setelah diadakan upacara marmanuk diampang, dukun berkata : “
adong anak ibebere na pinatangis – tangis jala na pinasiak – siak,
ingkon paluaon do ogung sebangunan jala patortoran bere na pina siak –
siak asa ro udan paremean.” Rupanya ada kemenakan yang menangis tersiksa
dan teraniaya. Harus dipukul gendang dan dibuat menari kemenakan yang
tersiksa agar datang hujan pemberi berkah )
Raja Manggarerak dan Toga Manurung
bertanya – Tanya siapakah gerangan kemenakan yang menangis tersiksa dan
teraniaya ? lalu Toga Manurung berkata :”Ai so adong berengku tubu ni
itongku siboru nailing,” (tak ada kemenakanku, anak kakak Siboru Nailing
) katanya. Kemudian Siboru Nailing berkata :” unang dok songon I,
tangkasi hamu ma jolo baoa na hona beang an, atik beha anakku do I na
binoan ni Raja Silahisabungan,” ( jangan ucapkan demikian, teliti dulu
pamuda yang terpasung itu, apakah itu anak saya yang dibawa Raja
Silahisabungan ) katanya memecahkan persoalan. Mendengar keterangan
Siboru Nailing, Toga Manurung membuka pasungan dan bertanya :” hei anak
muda siapa kau sebenarnya?“. Lalu pemuda ( Siraja Tambun ) menjawab :”
aku adalah Siraja Tambun, Anak Raja Silahisabungan dari Silalahi
nabolak,” katanya sambil menunjukkan Cincin ( Tintin Tumbuk ) yang
diberikan Raja Silahisabungan. Dengan tiba–tiba Siboru Nailing
mendekapnya dan merangkulnya dan berkata :” ahu do inangmu pangintubu,
nunga gabe ahu hape, nunga hudahop anakku tambun ni ate–ate urat ni pusu
– pusu. Ai tintinku do tintin tumbun on na umbun tu sude jari – jari,: (
akulah ibumu yang melahirkan kau, sudah kupeluk kau, sudah kupeluk anak
buah hatiku, urat nadi jantung. Cincin ini adalah milikku yang dapat
masuk kesemua jari – jari,”) katanya.
Kemudian Toga Manurung berkata “ nunga
godang salah nami bere. Pandok ni datu ingkon patortoran do ho jala
paluan ogung sabungan asa ro udan paremean.” (sudah banyak kesalahan
kami bere, menurut dukun kau harus dipestakan dengan memukul gendang
baru turun hujan pembawa berkah.) lalu Siraja Tambun menjawab :”molo
songon I do tulang, laho ma jolo ahu mangalapi dahahang ke
Silalahi.”(kalau begitu permisilah aku dulu biar kujemput abang –
abangku ke Silalahi).
Setelah ada pengakuan Toga Manurung akan
“Patortoran “ Siraja Tambun, langitpun mendung dan tidak berapa lama
turunlah hujan lebat membuat penduduk negeri merasa gembira. Melihat
tanda –tanda yang menggembirakan ini, Raja Manggarerak berkata:” Tak
boleh cucuku Siraja Tambun pergi KeSilalahi. Lebih baik kita suruh kaum
kerabat menjemput abang–abangnya,” katanya untuk menjaga Siraja Tambun
mengilangkan Jejak. Kaum kerabat dan Raja–Raja dikumpulkan untuk
memberitahukan pelaksanaan gondang sabangunan patortorhon Siraja Tambun
dipogu ni alaman, sambil mengutus beberapa orang menjemput abang Siraja
Tambun dari Silalai Nabolak.
Mendengar penjelasan Raja Mangarerak dan
Toga Manurung, kaum kerabat dan Raja – raja yang diundang berkata :”
Nunga Gabe Siboru Nailing, nga doli–doli boras ni siubeonna. Adong boru
magodang di Raja I Toga Manurung I ma Si Pintahaomasan. Siboan sangap
dohot tua do Siraja Tambun, molo senggan roha ni raja I laos dipesta on
ma nasida tapasu – pasu marhajabuan !” ( sudah bahagia ( gebe) Siboru
Nailing, sudah dewasa anaknya. Ada juga puteri Raja Toga Manurung gadis
remaja yaitu Si Pintahaomasan. Karena kedatangan Siraja Tambun membawa
berkah dan kalau Raja berkenan, bagaimana kalau pada pesta ini mereka
kita kawinkan !” kata raja – raja memberi usul
Lalu Toga Manurung menjawab :” Niat
kamipun demikian juga, agar Siraja Tambun tetap tinggal di Sibisa,
tetapi kita tanyalah puteri kita Si pintahaomasan bagaiman pendapatnya,”
katanya menyambut usul kaum kerabat dan Raja – raja. Kemudian toga
Manurung menanya Si Pintahaomasan tentang usul dan pendapat Raja – raja.
Mendengar usul raja – raja dan pendapat
ayahnya Toga Manurung, Si Pintahaosan berkata :” ndang simanuk – manuk,
manuk sibontar andora, ndang sitodo turpuk siahut lomo ni roha. Silaklak
ni singkoru, sirege – rege ni ampang, gabe do na maranak ni namboru,
horas ma na Marboru ni Tulang, Molo mamasu – masu damang parsinuan dohot
raja – raja aha be na hurang ?” katanya tanda setuju.
Pada pesta “Patortor Sirja Tambun dan
perkawinannya “ dengan Si Pintahaosaman br. Manurung, datang abang
Siraja Tambun dari Silalahi Nabolak marsolu bolon ( naik perahu besar )
serta membawa gondang sebangunan. Disaksikan Siboru Nailing dan abang –
abang Siraja Tambun yang datang dari Silalahi Nabolak, Raja Mangarerak,
dan Toga Manurung memberi hadiah (pauseang) : Mual Simataniari, Hauma
Sipitu, batangi dan Pinasa sidungdungonon. Kemudian Raja Mangarerak
berkata :” Cucuku Raja Tambun, hakmu sekarang sudah sama dengan raja –
raja di daerah ini. Di Silalahi Nabolak namamu Siraja Tambun, beberapa
tahun kau di Sibisa ini disebut Siraja Parmahan ( Pengembala ). Mulai
sekarang dinobatkan namamu Raja Itano, karena kau sudah marga tanah (
Martano golat ) di Sibisa,” katanya sambil mengikatkan “ Tali – tali
harajaon boru,” dikepala Siraja Tambun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar