Pomparan Raja Tamba Tua
Omputta Raja Tamba Tua Omputta Boru Malau Pase
• GROUP Pomparan Tamba Tua
• Generasi Muda Pomparan Tamba Tua se-Jabodetabek
• Fan Page Pomparan Raja Tamba Tua
• FB Pomparan Tamba Tua
• FB Pomparan Tamba Tua II
• PARNA (Pomparan Raja NaiAmbaton)
Rabu, 20 Juli 2011
SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON
Raja Nai Ambaton/Tuan Sorba Dijulu adalah anak sulung dari Tuan
Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 4 orang anak namun
ada juga yang mengatakan 5 orang anak, namun Tuan Sorba Dijulu hanya
memiliki satu orang boru yang menikah dengan Raja Silahisabungan dan
melahirkan anaknya yang diberi nama Silalahi Raja. Anak Tuan Sorba
Dijulu/Nai Ambaton adalah
1. Simbolon Tua
2. Tamba Tua
3. Saragi Tua
4. Munthe Tua
5. Nahampun Tua
6. Sada boru Pinta Haomasan
Sekilas perjalanan Pomparan Raja Nai Ambaton dohot Pinomparna
Diperkirakan Op. Tuan Sorba Dijulu tinggal di sekitar Pusuk Buhit,
dengan istrinya nai ambaton yang merupakan boru pinompar ni Guru Tatea
Bulan yang diketahui nama op. boru itu adalah Siboru Anting Bulan yang
marhuta di huta Parik Sabungan (sudah ada yang pernah datang ketempat
ini).
Diperkirakan Tuan Sorba Dijulu merantau ke Dolok
Paromasan, disinilah lahir anak-anaknya Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi
Tua, Munthe Tua (kita buat 4 dulu anaknya Tuan Sorba Dijulu karena
Nahampun masuk Simbolon) dan satu borunya Pinta Haomasan.
Namun
di satu sisi Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 2 orang istri, istri
pertama anaknya adalah Simbolon Tua sedangkan dari istri kedua anaknya
adalah Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun ketika itu dari
istri pertama lama lahir Simbolon Tua, sehingga lebih dulu lahir Tamba
Tua dari istri kedua. Setelah lahir Tamba Tua terlebih dahulu lahirlah
Simbolon Tua dari istri pertama, namun tidak diketahui apakah Saragi Tua
dan Munthe Tua dulukah yang lahir baru Simbolon Tua, atau Simbolon Tua
dulukah kemudian lahir Saragi Tua dan Munthe Tua dari istri kedua. Namun
menurut perkiraan kembali, lebih dulu lahir Saragi Tua baru Simbolon
Tua kemudian Munthe Tua, ini menurut analisa generasi dari tiap-tiap
keturunan yang ada hingga saat ini.
Lambat laun anak-anak dan
boru Tuan Sorba Dijulu bertumbuh besar, sampai pada akhirnya Tamba Tua
yang secara usia lebih sulung dari anak-anak Tuan Sorba Dijulu dengan
Simbolon Tua yang merasa dialah anak siakkangan karena lahir dari istri
pertama bertengkar berebut hak kesulungan, sampai pada akhirnya
pertengkaran ini didengar Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu
dengan bijaksana menentukan siapakah yang pantas dan memang sebenarnya
yang menjadi sulung di Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu
mengadu kedua anaknya, dikatakan siapa yang berdarah atau terluka,
dialah yang sianggian dan siapa yang tidak dialah siakkangan. Maka
diberikan senjata yang sama kepada mereka berdua, senjata tersebut
berupa ‘ultop’, namun ultop yang diberikan kepada Tamba Tua adalah ultop
yang ujungnya tumpul, sedangkan ultop yang diberikan kepada Simbolon
Tua adalah ultop yang runcing dan tajam. Dan akhirnya rencana Tuan Sorba
Dijulu pun berhasil, Tamba Tua terluka dan berdarah dan secara otomatis
menunjukkan Simbolon Tualah anak siakkangan, ini merupakan cara Tuan
Sorba Dijulu kepada mereka tanpa membuat tersinggung mereka, tanpa
adanya pemikiran pilih kasih.
Semenjak hal tersebut, kejadian
itu membuat Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua untuk pergi
meninggalkan Dolok Paromasan, hingga akhirnya mereka menemukan tempat
baru di kecamatan Sitio-tio dan diberi nama Huta Tamba, disinilah
tinggal Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun tidak alama
pomparan Saragi Tua akhirnya merantau ke daerah Simanindo. Lama pomparan
mereka terus berkembang hingga membuat pinomparna pergi merantau ke
luar huta Tamba, akhirnya pomparan Tamba Tua banyak yang merantau dan
sebagian tinggal pomparannya di huta Tamba, mereka inilah yang terus
menggunakan marga Tamba hingga saat ini, sedangkan pomparan Tamba Tua
yang merantau pada akhirnya menjadi marga mandiri, dan kebanyak mereka
merantau ke daerah Simanindo, adapun marga-marga mandiri keturunan Tamba
Tua ini adalah Siallagan, Turnip, Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat,
Siadari, Sidabalok), Rumahorbo, napitu dan Sitio. Di satu sisi,
pomparan Saragi Tua hampir semua meninggalkan huta Tamba dan hidup
mandiri ke daerah Simanindo dan lain-lain, begitupun juga dengan
pomparan Munthe Tua yang merantau ke karo, barus, simalungun, dan balik
ke daerah pangururan dan lain-lain, namun masih ada sebagian dari
Pomparan Munthe Tua ini yang hingga saat ini tinggal dan menetap di Huta
Tamba.
Di satu sisi ada cerita yang mengatakan semenjak
kejadian perebutan hak sulung, Tamba dan adiknya ingin dibunuh oleh
Simbolon Tua karena dendam kepada Tamba Tua yang telah merebut hak
kesulungannya, namun rencana itu diketahui itonya Pinta Haomasan, dan
Pinta Haomasan menyuruh mereka untuk pergi dari Dolok Paromasan.
Suatu ketika, datanglah keturunan Saragi Tua, dari Op. Tuan Binur yang
diwakili oleh Si Mata Raja datang ke tanah Tamba untuk mengambil warisan
sang ayah dan sang opung yang ada di tanah Tamba, dan pada saat itu
disambut oleh Tamba bersaudara, setalah Mata Raja melaksanakan tugasnya
Mata Raja bertemu dengan Siallagan dan Turnip yang pada waktu itu
berperang melawan kerajaan dari Simalungun, maka karena Siallagan dan
Turnip merupakan saudaranya dibantulah mereka, sekilas akhirnya Mata
Raja berhasil mengusir musuh hingga lari ketar-ketir. Sejak saat itu,
maka Siallagan dan Turnip merasa sangat senang, maka dibuatlah padan
diantara mereka bertiga, dan Mata raja diajak untuk tinggal bersama
mereka, namun Mata Raja tidak mau dan lebih memilih untuk kembali ke
tempatnya.
Di satu sisi, keturunan Munthe Tua banyak yang sudah
merantau, salah satunya Pangururan. Keturunan sulung Munthe Tua Raja
Sitempang lahir dengan keadaan cacat fisik, sehingga dia diasingkan oleh
orangtuanya, disana dia bertemu dengan si boru marihan yang juga lahir
dengan keadaan cacat fisik, anak dari Raja Sitempang adalah Raja Na
Tanggang yang merantau ke Pangururan dan menikahi boru Naibaho sehingga
menetap dan tinggal di Pangururan, di lain pihak ternyata adik dari boru
Naibaho istri Raja Na Tanggang ini dinikahi oleh keturunan Simbolon
Tuan Nahoda Raja, keturunan dari Simbolon Tua/boru Limbong. Mulai
disinilah terjadinya perbedaan pandangan karena Raja Na Tanggang yang
merupakan keturunan dari Munthe Tua menikahi boru naibaho siakkangan
menganggap dialah siabangan daripada Simbolon Tuan Nahoda Raja yang
merupakan anak Simbolon Tua yang menikahi boru naibaho siampudan.
Muncullah katai damai dari Tulang, rap marsihahaan rap marsianggian.
Karena Sitanggang dan Simbolon telah menikahi boru Raja Naibaho, maka
diberikanlah kepada Sitanggang dan Simbolon bius sebagai boru. Itulah
yang dikenal dengan nama bius si tolu aek horbo. Keturunan Raja
Sitempang, Sitanggang Bau pun bertemu dengan Gusar yang merupakan
generasi ke 13 si Raja Batak yang ketika itu membantu Sitanggang Bau
melawan musuhnya. Anak-anak Munthe Tua yang kedua dan ketiga yaitu Ompu
Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo yang merantau ke Simalungun, dan Ompu
Jelak Karo ke tanah karo, jadi salah bila beranggapan Munthe itu berasal
dari karo, jadi dari kedua ompu inilah yang masih menggunakan marga
leluhurnya, namun bagi yang di karo menjadi marga mandiri seperti
Ginting sama seperti anak siakkangan Munthe Tua yang menjadi marga
mandiri Sitanggang.
Namun ketika jaman Belanda, dimana Belanda
untuk menguasai kekayaan bumi yang ada di samosir di Pangururan
memanggil raja-raja untuk dijadikan kepala nagari, begitu juga dengan
Sitanggang yang diberikan daerah kekuasaan dengan menjadi Raja
Pangururan karena dia memiliki sebagian besar bius karena menikahi boru
siakkangan Naibaho. Diperkkirakan disinilah terjadinya turut campur
Belanda dalam mencampuri dan membuat berantakan tarombo, karena banyak
raja-raja pada waktu itu tidak datang dan diwakilkan oleh adiknya atau
kepercayaannya yang masih satu marga, namun tidak disangka mereka
ditawarkan menjadi kepala nagari, ada yang tergiur dan ada yang menolak
hingga mereka yang dijadikan kepala nagari itu yang merupakan utusan
dari raja daerah/abangnya mengaku sebagai abangan karena telah menjadi
kepala nagari.
Dolok Paromasan terletak di daerah Pangururan,
namun Dolok Paromasan ini adalah miliki Tuan Sorba Dijulu lain dengan
kota Pangururan.
PINTA HAOMASAN
Namboru Pinta Haomasan
adalah boru sasada Tuan Sorba Dijulu yang tinggal di Dolok Paromasan
bersama dengan itonya Simbolon Tua, karena itonya Tamba Tua dan
adik-adiknya pergi meninggalkan akibat kejadian hak sulung. Namboru
Pinta Haomasan muli ke Raja Silahisabungan dengan anaknya Silalahi Raja,
karena pada saat itu pariban Silalahi Raja hanya ada dari boru
tulangnya Simbolon Tua, karena ketiga tulangnya telah meninggalkan huta,
maka Silalahi Raja mengambil boru Tulangnya dari Simbolon Tua hingga
beberapa generasi. Karena mengambil boru tulangnya dari Simbolon, maka
sama seperti yang dilakukan oleh Raja Naibaho kepada Simbolon maka
dilakukan juga hal tersebut kepada Silalahi Raja, diberikannlah bius
boru kepada Silalahi Raja, namun karena Simbolon Tua sadar bahwa tanah
leluhurnya Tuan Sorba Dijulu di Dolok Paromasan bukanlah hanya miliknya,
maka bius Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua ikut diberikan
didalamnya.
Bius disini bius di Dolok Paromasan berbeda dengan
bius Pangururan yang diberikan Raja Naibaho, karena diperkirakan
Pangururan adalah wilayah kekuasaan Tuan Sorimangaraja.
Pomparan Raja Tamba Tua
Omputta Raja Tamba Tua Omputta Boru Malau Pase
• GROUP Pomparan Tamba Tua
• Generasi Muda Pomparan Tamba Tua se-Jabodetabek
• Fan Page Pomparan Raja Tamba Tua
• FB Pomparan Tamba Tua
• FB Pomparan Tamba Tua II
• PARNA (Pomparan Raja NaiAmbaton)
Rabu, 20 Juli 2011
SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON
Raja Nai Ambaton/Tuan Sorba Dijulu adalah anak sulung dari Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 4 orang anak namun ada juga yang mengatakan 5 orang anak, namun Tuan Sorba Dijulu hanya memiliki satu orang boru yang menikah dengan Raja Silahisabungan dan melahirkan anaknya yang diberi nama Silalahi Raja. Anak Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton adalah
1. Simbolon Tua
2. Tamba Tua
3. Saragi Tua
4. Munthe Tua
5. Nahampun Tua
6. Sada boru Pinta Haomasan
Sekilas perjalanan Pomparan Raja Nai Ambaton dohot Pinomparna
Omputta Raja Tamba Tua Omputta Boru Malau Pase
• GROUP Pomparan Tamba Tua
• Generasi Muda Pomparan Tamba Tua se-Jabodetabek
• Fan Page Pomparan Raja Tamba Tua
• FB Pomparan Tamba Tua
• FB Pomparan Tamba Tua II
• PARNA (Pomparan Raja NaiAmbaton)
Rabu, 20 Juli 2011
SEJARAH POMPARAN RAJA NAI AMBATON
Raja Nai Ambaton/Tuan Sorba Dijulu adalah anak sulung dari Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 4 orang anak namun ada juga yang mengatakan 5 orang anak, namun Tuan Sorba Dijulu hanya memiliki satu orang boru yang menikah dengan Raja Silahisabungan dan melahirkan anaknya yang diberi nama Silalahi Raja. Anak Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton adalah
1. Simbolon Tua
2. Tamba Tua
3. Saragi Tua
4. Munthe Tua
5. Nahampun Tua
6. Sada boru Pinta Haomasan
Sekilas perjalanan Pomparan Raja Nai Ambaton dohot Pinomparna
Diperkirakan Op. Tuan Sorba Dijulu tinggal di sekitar Pusuk Buhit,
dengan istrinya nai ambaton yang merupakan boru pinompar ni Guru Tatea
Bulan yang diketahui nama op. boru itu adalah Siboru Anting Bulan yang
marhuta di huta Parik Sabungan (sudah ada yang pernah datang ketempat
ini).
Diperkirakan Tuan Sorba Dijulu merantau ke Dolok Paromasan, disinilah lahir anak-anaknya Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua (kita buat 4 dulu anaknya Tuan Sorba Dijulu karena Nahampun masuk Simbolon) dan satu borunya Pinta Haomasan.
Namun di satu sisi Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 2 orang istri, istri pertama anaknya adalah Simbolon Tua sedangkan dari istri kedua anaknya adalah Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun ketika itu dari istri pertama lama lahir Simbolon Tua, sehingga lebih dulu lahir Tamba Tua dari istri kedua. Setelah lahir Tamba Tua terlebih dahulu lahirlah Simbolon Tua dari istri pertama, namun tidak diketahui apakah Saragi Tua dan Munthe Tua dulukah yang lahir baru Simbolon Tua, atau Simbolon Tua dulukah kemudian lahir Saragi Tua dan Munthe Tua dari istri kedua. Namun menurut perkiraan kembali, lebih dulu lahir Saragi Tua baru Simbolon Tua kemudian Munthe Tua, ini menurut analisa generasi dari tiap-tiap keturunan yang ada hingga saat ini.
Lambat laun anak-anak dan boru Tuan Sorba Dijulu bertumbuh besar, sampai pada akhirnya Tamba Tua yang secara usia lebih sulung dari anak-anak Tuan Sorba Dijulu dengan Simbolon Tua yang merasa dialah anak siakkangan karena lahir dari istri pertama bertengkar berebut hak kesulungan, sampai pada akhirnya pertengkaran ini didengar Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu dengan bijaksana menentukan siapakah yang pantas dan memang sebenarnya yang menjadi sulung di Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu mengadu kedua anaknya, dikatakan siapa yang berdarah atau terluka, dialah yang sianggian dan siapa yang tidak dialah siakkangan. Maka diberikan senjata yang sama kepada mereka berdua, senjata tersebut berupa ‘ultop’, namun ultop yang diberikan kepada Tamba Tua adalah ultop yang ujungnya tumpul, sedangkan ultop yang diberikan kepada Simbolon Tua adalah ultop yang runcing dan tajam. Dan akhirnya rencana Tuan Sorba Dijulu pun berhasil, Tamba Tua terluka dan berdarah dan secara otomatis menunjukkan Simbolon Tualah anak siakkangan, ini merupakan cara Tuan Sorba Dijulu kepada mereka tanpa membuat tersinggung mereka, tanpa adanya pemikiran pilih kasih.
Semenjak hal tersebut, kejadian itu membuat Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua untuk pergi meninggalkan Dolok Paromasan, hingga akhirnya mereka menemukan tempat baru di kecamatan Sitio-tio dan diberi nama Huta Tamba, disinilah tinggal Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun tidak alama pomparan Saragi Tua akhirnya merantau ke daerah Simanindo. Lama pomparan mereka terus berkembang hingga membuat pinomparna pergi merantau ke luar huta Tamba, akhirnya pomparan Tamba Tua banyak yang merantau dan sebagian tinggal pomparannya di huta Tamba, mereka inilah yang terus menggunakan marga Tamba hingga saat ini, sedangkan pomparan Tamba Tua yang merantau pada akhirnya menjadi marga mandiri, dan kebanyak mereka merantau ke daerah Simanindo, adapun marga-marga mandiri keturunan Tamba Tua ini adalah Siallagan, Turnip, Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok), Rumahorbo, napitu dan Sitio. Di satu sisi, pomparan Saragi Tua hampir semua meninggalkan huta Tamba dan hidup mandiri ke daerah Simanindo dan lain-lain, begitupun juga dengan pomparan Munthe Tua yang merantau ke karo, barus, simalungun, dan balik ke daerah pangururan dan lain-lain, namun masih ada sebagian dari Pomparan Munthe Tua ini yang hingga saat ini tinggal dan menetap di Huta Tamba.
Di satu sisi ada cerita yang mengatakan semenjak kejadian perebutan hak sulung, Tamba dan adiknya ingin dibunuh oleh Simbolon Tua karena dendam kepada Tamba Tua yang telah merebut hak kesulungannya, namun rencana itu diketahui itonya Pinta Haomasan, dan Pinta Haomasan menyuruh mereka untuk pergi dari Dolok Paromasan.
Suatu ketika, datanglah keturunan Saragi Tua, dari Op. Tuan Binur yang diwakili oleh Si Mata Raja datang ke tanah Tamba untuk mengambil warisan sang ayah dan sang opung yang ada di tanah Tamba, dan pada saat itu disambut oleh Tamba bersaudara, setalah Mata Raja melaksanakan tugasnya Mata Raja bertemu dengan Siallagan dan Turnip yang pada waktu itu berperang melawan kerajaan dari Simalungun, maka karena Siallagan dan Turnip merupakan saudaranya dibantulah mereka, sekilas akhirnya Mata Raja berhasil mengusir musuh hingga lari ketar-ketir. Sejak saat itu, maka Siallagan dan Turnip merasa sangat senang, maka dibuatlah padan diantara mereka bertiga, dan Mata raja diajak untuk tinggal bersama mereka, namun Mata Raja tidak mau dan lebih memilih untuk kembali ke tempatnya.
Di satu sisi, keturunan Munthe Tua banyak yang sudah merantau, salah satunya Pangururan. Keturunan sulung Munthe Tua Raja Sitempang lahir dengan keadaan cacat fisik, sehingga dia diasingkan oleh orangtuanya, disana dia bertemu dengan si boru marihan yang juga lahir dengan keadaan cacat fisik, anak dari Raja Sitempang adalah Raja Na Tanggang yang merantau ke Pangururan dan menikahi boru Naibaho sehingga menetap dan tinggal di Pangururan, di lain pihak ternyata adik dari boru Naibaho istri Raja Na Tanggang ini dinikahi oleh keturunan Simbolon Tuan Nahoda Raja, keturunan dari Simbolon Tua/boru Limbong. Mulai disinilah terjadinya perbedaan pandangan karena Raja Na Tanggang yang merupakan keturunan dari Munthe Tua menikahi boru naibaho siakkangan menganggap dialah siabangan daripada Simbolon Tuan Nahoda Raja yang merupakan anak Simbolon Tua yang menikahi boru naibaho siampudan. Muncullah katai damai dari Tulang, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena Sitanggang dan Simbolon telah menikahi boru Raja Naibaho, maka diberikanlah kepada Sitanggang dan Simbolon bius sebagai boru. Itulah yang dikenal dengan nama bius si tolu aek horbo. Keturunan Raja Sitempang, Sitanggang Bau pun bertemu dengan Gusar yang merupakan generasi ke 13 si Raja Batak yang ketika itu membantu Sitanggang Bau melawan musuhnya. Anak-anak Munthe Tua yang kedua dan ketiga yaitu Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo yang merantau ke Simalungun, dan Ompu Jelak Karo ke tanah karo, jadi salah bila beranggapan Munthe itu berasal dari karo, jadi dari kedua ompu inilah yang masih menggunakan marga leluhurnya, namun bagi yang di karo menjadi marga mandiri seperti Ginting sama seperti anak siakkangan Munthe Tua yang menjadi marga mandiri Sitanggang.
Namun ketika jaman Belanda, dimana Belanda untuk menguasai kekayaan bumi yang ada di samosir di Pangururan memanggil raja-raja untuk dijadikan kepala nagari, begitu juga dengan Sitanggang yang diberikan daerah kekuasaan dengan menjadi Raja Pangururan karena dia memiliki sebagian besar bius karena menikahi boru siakkangan Naibaho. Diperkkirakan disinilah terjadinya turut campur Belanda dalam mencampuri dan membuat berantakan tarombo, karena banyak raja-raja pada waktu itu tidak datang dan diwakilkan oleh adiknya atau kepercayaannya yang masih satu marga, namun tidak disangka mereka ditawarkan menjadi kepala nagari, ada yang tergiur dan ada yang menolak hingga mereka yang dijadikan kepala nagari itu yang merupakan utusan dari raja daerah/abangnya mengaku sebagai abangan karena telah menjadi kepala nagari.
Dolok Paromasan terletak di daerah Pangururan, namun Dolok Paromasan ini adalah miliki Tuan Sorba Dijulu lain dengan kota Pangururan.
PINTA HAOMASAN
Namboru Pinta Haomasan adalah boru sasada Tuan Sorba Dijulu yang tinggal di Dolok Paromasan bersama dengan itonya Simbolon Tua, karena itonya Tamba Tua dan adik-adiknya pergi meninggalkan akibat kejadian hak sulung. Namboru Pinta Haomasan muli ke Raja Silahisabungan dengan anaknya Silalahi Raja, karena pada saat itu pariban Silalahi Raja hanya ada dari boru tulangnya Simbolon Tua, karena ketiga tulangnya telah meninggalkan huta, maka Silalahi Raja mengambil boru Tulangnya dari Simbolon Tua hingga beberapa generasi. Karena mengambil boru tulangnya dari Simbolon, maka sama seperti yang dilakukan oleh Raja Naibaho kepada Simbolon maka dilakukan juga hal tersebut kepada Silalahi Raja, diberikannlah bius boru kepada Silalahi Raja, namun karena Simbolon Tua sadar bahwa tanah leluhurnya Tuan Sorba Dijulu di Dolok Paromasan bukanlah hanya miliknya, maka bius Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua ikut diberikan didalamnya.
Bius disini bius di Dolok Paromasan berbeda dengan bius Pangururan yang diberikan Raja Naibaho, karena diperkirakan Pangururan adalah wilayah kekuasaan Tuan Sorimangaraja.
Diperkirakan Tuan Sorba Dijulu merantau ke Dolok Paromasan, disinilah lahir anak-anaknya Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua (kita buat 4 dulu anaknya Tuan Sorba Dijulu karena Nahampun masuk Simbolon) dan satu borunya Pinta Haomasan.
Namun di satu sisi Tuan Sorba Dijulu dikatakan memiliki 2 orang istri, istri pertama anaknya adalah Simbolon Tua sedangkan dari istri kedua anaknya adalah Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun ketika itu dari istri pertama lama lahir Simbolon Tua, sehingga lebih dulu lahir Tamba Tua dari istri kedua. Setelah lahir Tamba Tua terlebih dahulu lahirlah Simbolon Tua dari istri pertama, namun tidak diketahui apakah Saragi Tua dan Munthe Tua dulukah yang lahir baru Simbolon Tua, atau Simbolon Tua dulukah kemudian lahir Saragi Tua dan Munthe Tua dari istri kedua. Namun menurut perkiraan kembali, lebih dulu lahir Saragi Tua baru Simbolon Tua kemudian Munthe Tua, ini menurut analisa generasi dari tiap-tiap keturunan yang ada hingga saat ini.
Lambat laun anak-anak dan boru Tuan Sorba Dijulu bertumbuh besar, sampai pada akhirnya Tamba Tua yang secara usia lebih sulung dari anak-anak Tuan Sorba Dijulu dengan Simbolon Tua yang merasa dialah anak siakkangan karena lahir dari istri pertama bertengkar berebut hak kesulungan, sampai pada akhirnya pertengkaran ini didengar Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu dengan bijaksana menentukan siapakah yang pantas dan memang sebenarnya yang menjadi sulung di Tuan Sorba Dijulu, akhirnya Tuan Sorba Dijulu mengadu kedua anaknya, dikatakan siapa yang berdarah atau terluka, dialah yang sianggian dan siapa yang tidak dialah siakkangan. Maka diberikan senjata yang sama kepada mereka berdua, senjata tersebut berupa ‘ultop’, namun ultop yang diberikan kepada Tamba Tua adalah ultop yang ujungnya tumpul, sedangkan ultop yang diberikan kepada Simbolon Tua adalah ultop yang runcing dan tajam. Dan akhirnya rencana Tuan Sorba Dijulu pun berhasil, Tamba Tua terluka dan berdarah dan secara otomatis menunjukkan Simbolon Tualah anak siakkangan, ini merupakan cara Tuan Sorba Dijulu kepada mereka tanpa membuat tersinggung mereka, tanpa adanya pemikiran pilih kasih.
Semenjak hal tersebut, kejadian itu membuat Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua untuk pergi meninggalkan Dolok Paromasan, hingga akhirnya mereka menemukan tempat baru di kecamatan Sitio-tio dan diberi nama Huta Tamba, disinilah tinggal Tamba Tua, Saragi Tua, dan Munthe Tua. Namun tidak alama pomparan Saragi Tua akhirnya merantau ke daerah Simanindo. Lama pomparan mereka terus berkembang hingga membuat pinomparna pergi merantau ke luar huta Tamba, akhirnya pomparan Tamba Tua banyak yang merantau dan sebagian tinggal pomparannya di huta Tamba, mereka inilah yang terus menggunakan marga Tamba hingga saat ini, sedangkan pomparan Tamba Tua yang merantau pada akhirnya menjadi marga mandiri, dan kebanyak mereka merantau ke daerah Simanindo, adapun marga-marga mandiri keturunan Tamba Tua ini adalah Siallagan, Turnip, Si Opat Ama (Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok), Rumahorbo, napitu dan Sitio. Di satu sisi, pomparan Saragi Tua hampir semua meninggalkan huta Tamba dan hidup mandiri ke daerah Simanindo dan lain-lain, begitupun juga dengan pomparan Munthe Tua yang merantau ke karo, barus, simalungun, dan balik ke daerah pangururan dan lain-lain, namun masih ada sebagian dari Pomparan Munthe Tua ini yang hingga saat ini tinggal dan menetap di Huta Tamba.
Di satu sisi ada cerita yang mengatakan semenjak kejadian perebutan hak sulung, Tamba dan adiknya ingin dibunuh oleh Simbolon Tua karena dendam kepada Tamba Tua yang telah merebut hak kesulungannya, namun rencana itu diketahui itonya Pinta Haomasan, dan Pinta Haomasan menyuruh mereka untuk pergi dari Dolok Paromasan.
Suatu ketika, datanglah keturunan Saragi Tua, dari Op. Tuan Binur yang diwakili oleh Si Mata Raja datang ke tanah Tamba untuk mengambil warisan sang ayah dan sang opung yang ada di tanah Tamba, dan pada saat itu disambut oleh Tamba bersaudara, setalah Mata Raja melaksanakan tugasnya Mata Raja bertemu dengan Siallagan dan Turnip yang pada waktu itu berperang melawan kerajaan dari Simalungun, maka karena Siallagan dan Turnip merupakan saudaranya dibantulah mereka, sekilas akhirnya Mata Raja berhasil mengusir musuh hingga lari ketar-ketir. Sejak saat itu, maka Siallagan dan Turnip merasa sangat senang, maka dibuatlah padan diantara mereka bertiga, dan Mata raja diajak untuk tinggal bersama mereka, namun Mata Raja tidak mau dan lebih memilih untuk kembali ke tempatnya.
Di satu sisi, keturunan Munthe Tua banyak yang sudah merantau, salah satunya Pangururan. Keturunan sulung Munthe Tua Raja Sitempang lahir dengan keadaan cacat fisik, sehingga dia diasingkan oleh orangtuanya, disana dia bertemu dengan si boru marihan yang juga lahir dengan keadaan cacat fisik, anak dari Raja Sitempang adalah Raja Na Tanggang yang merantau ke Pangururan dan menikahi boru Naibaho sehingga menetap dan tinggal di Pangururan, di lain pihak ternyata adik dari boru Naibaho istri Raja Na Tanggang ini dinikahi oleh keturunan Simbolon Tuan Nahoda Raja, keturunan dari Simbolon Tua/boru Limbong. Mulai disinilah terjadinya perbedaan pandangan karena Raja Na Tanggang yang merupakan keturunan dari Munthe Tua menikahi boru naibaho siakkangan menganggap dialah siabangan daripada Simbolon Tuan Nahoda Raja yang merupakan anak Simbolon Tua yang menikahi boru naibaho siampudan. Muncullah katai damai dari Tulang, rap marsihahaan rap marsianggian. Karena Sitanggang dan Simbolon telah menikahi boru Raja Naibaho, maka diberikanlah kepada Sitanggang dan Simbolon bius sebagai boru. Itulah yang dikenal dengan nama bius si tolu aek horbo. Keturunan Raja Sitempang, Sitanggang Bau pun bertemu dengan Gusar yang merupakan generasi ke 13 si Raja Batak yang ketika itu membantu Sitanggang Bau melawan musuhnya. Anak-anak Munthe Tua yang kedua dan ketiga yaitu Ompu Jelak Maribur dan Ompu Jelak Karo yang merantau ke Simalungun, dan Ompu Jelak Karo ke tanah karo, jadi salah bila beranggapan Munthe itu berasal dari karo, jadi dari kedua ompu inilah yang masih menggunakan marga leluhurnya, namun bagi yang di karo menjadi marga mandiri seperti Ginting sama seperti anak siakkangan Munthe Tua yang menjadi marga mandiri Sitanggang.
Namun ketika jaman Belanda, dimana Belanda untuk menguasai kekayaan bumi yang ada di samosir di Pangururan memanggil raja-raja untuk dijadikan kepala nagari, begitu juga dengan Sitanggang yang diberikan daerah kekuasaan dengan menjadi Raja Pangururan karena dia memiliki sebagian besar bius karena menikahi boru siakkangan Naibaho. Diperkkirakan disinilah terjadinya turut campur Belanda dalam mencampuri dan membuat berantakan tarombo, karena banyak raja-raja pada waktu itu tidak datang dan diwakilkan oleh adiknya atau kepercayaannya yang masih satu marga, namun tidak disangka mereka ditawarkan menjadi kepala nagari, ada yang tergiur dan ada yang menolak hingga mereka yang dijadikan kepala nagari itu yang merupakan utusan dari raja daerah/abangnya mengaku sebagai abangan karena telah menjadi kepala nagari.
Dolok Paromasan terletak di daerah Pangururan, namun Dolok Paromasan ini adalah miliki Tuan Sorba Dijulu lain dengan kota Pangururan.
PINTA HAOMASAN
Namboru Pinta Haomasan adalah boru sasada Tuan Sorba Dijulu yang tinggal di Dolok Paromasan bersama dengan itonya Simbolon Tua, karena itonya Tamba Tua dan adik-adiknya pergi meninggalkan akibat kejadian hak sulung. Namboru Pinta Haomasan muli ke Raja Silahisabungan dengan anaknya Silalahi Raja, karena pada saat itu pariban Silalahi Raja hanya ada dari boru tulangnya Simbolon Tua, karena ketiga tulangnya telah meninggalkan huta, maka Silalahi Raja mengambil boru Tulangnya dari Simbolon Tua hingga beberapa generasi. Karena mengambil boru tulangnya dari Simbolon, maka sama seperti yang dilakukan oleh Raja Naibaho kepada Simbolon maka dilakukan juga hal tersebut kepada Silalahi Raja, diberikannlah bius boru kepada Silalahi Raja, namun karena Simbolon Tua sadar bahwa tanah leluhurnya Tuan Sorba Dijulu di Dolok Paromasan bukanlah hanya miliknya, maka bius Tamba Tua, Saragi Tua dan Munthe Tua ikut diberikan didalamnya.
Bius disini bius di Dolok Paromasan berbeda dengan bius Pangururan yang diberikan Raja Naibaho, karena diperkirakan Pangururan adalah wilayah kekuasaan Tuan Sorimangaraja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar